Lanjut ke konten

Perempuan di Parlemen, Mana Suara Anda?

Desember 27, 2009

Umi Kulsum dan Ignatius Kristanto

Dua bulan sudah berlalu, tetapi ibarat mesin, mereka belum ”panas” juga. Padahal, jumlah mereka naik signifikan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ada apa dengan mereka?

Dalam sebuah rapat komisi, saya meminta anggota rapat untuk memikirkan aspek jender. Tiba-tiba, suara dalam sidang langsung bersorak ’huuu…, lagi-lagi jender’,” Eva Kusuma Sundari, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, bercerita. Pengalaman Eva bisa untuk menggambarkan bagaimana anggota perempuan parlemen di DPR periode 2009-2014 memang masih harus berjuang untuk mengimbangi dominasi politisi laki-laki di Senayan.

Sebenarnya kehadiran perempuan sangat diharapkan dapat mewarnai parlemen, salah satunya agar lembaga ini dapat menghasilkan keputusan atau kebijakan yang tak lagi bias jender. Inilah salah satu alasan mengapa aktivis perempuan dulu getol memperjuangkan kuota 30 persen di parlemen.

Kuota 30 persen memang digugurkan dan berganti dengan pemilihan langsung yang ternyata menghasilkan persentase yang lebih besar bagi perempuan di parlemen. Dari 11,8 persen pada Pemilu 2004, menjadi 18 persen pada Pemilu 2009 (di mana pemilih mencontreng langsung nama caleg).

Kenaikan ini di satu sisi memang memberikan rasa optimisme akan dampak kehadiran mereka. Tetapi, banyak juga suara yang meragukan mengingat legislator perempuan saat ini adalah mereka yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman terjun dalam aktivitas politik atau organisasi kemasyarakatan.

Keraguan tersebut terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada tanggal 15-16 Desember. Mayoritas (60 persen) responden merasa tidak puas terhadap kiprah mereka di parlemen. Suaranya masih belum terdengar ”nyaring” dibandingkan dengan politisi laki-laki.

Selain itu, publik juga melihat bahwa kiprah mereka masih kalah dibandingkan dengan politisi laki-laki. Sebagian besar (61 persen) responden menilai anggota parlemen perempuan belum banyak berperan aktif. Di tengah hiruk-pikuk suhu politik pasca-pemilu presiden, mulai dari kasus ”cicak melawan buaya” hingga kasus Bank Century yang mencuat saat ini, suaranya masih kalah dengan politisi dari kalangan laki-laki.

Sistem rekruitmen

Pandangan serupa ternyata juga dilontarkan oleh Ani Soetjipto, pengajar FISIP Universitas Indonesia. Ani menengarai hal itu disebabkan oleh sistem rekruitmen partai. Seharusnya partai melihat latar belakang setiap calegnya, tidak sekadar mengejar kuota 30 persen perempuan.

Mekanisme penentuan nomor urut di partai juga seharusnya lebih mempertimbangkan kualifikasi para caleg, memprioritaskan orang-orang yang memiliki rekam jejak yang bagus untuk menjadi wakil rakyat di parlemen.

Selain itu, penempatan nomor urut saat menjadi caleg sering kali masih dipengaruhi oleh kedekatan atau hubungan kekerabatan dengan pengurus atau petinggi partai tersebut. ”Bahkan, kadang urutan teratas dalam daerah pilihan pun biasanya diisi oleh orang-orang yang masih keluarga dekat petinggi partai,” tambah Ani.

Sebaliknya, perempuan yang telah lama bergulat dalam dunia gerakan perempuan ternyata sangat sulit untuk masuk parlemen. Buktinya, dari sekian perempuan yang duduk di parlemen saat ini, hanya satu aktivis yang lolos masuk parlemen. Sebagian besar berasal dari kalangan dinasti politik, pengusaha atau keluarga pengusaha, dan dari kalangan artis. Artis memiliki dua kelebihan selain telah dikenal secara luas, umumnya mereka juga memiliki modal cukup besar.

Maka, tidaklah mengherankan jika pandangan miring muncul dari publik. Mayoritas responden (64 persen) masih meragukan kiprah mereka dalam melepaskan diri dari dominasi mayoritas anggota Dewan laki-laki sehingga peran aktif di DPR pun masih minim.

Memang, jumlah mereka naik. Namun, menurut Eva, kuantitas di parlemen cukup menentukan. Angka 18 persen itu ternyata ibarat noktah yang keberadaannya belum bicara banyak di antara dominasi politisi laki-laki.

”Saya menyebut ini politic of number, saya kalah suara, apalagi kalau harus kuorum, saya sudah pasti kalah,” ujar mantan dosen Universitas Airlangga ini.

Jadi, menurut Eva, jumlah perempuan di DPR harus lebih banyak dari yang ada sekarang. ”Tidak hanya karena angka saja, tetapi dukungan dari teman sesama perempuan sangat penting dalam ruang sidang,” ungkapnya.

Selain itu, ”beban” mereka masih ditambah dengan masih kentalnya pandangan bias jender dari politisi laki-laki seperti yang diceritakan Eva pada awal tulisan ini. Ternyata publik pun melihat hal tersebut seperti tecermin dari 64 persen responden yang menilai bahwa dunia politik masih diskriminatif pada perempuan.

Minim pengalaman

Dalam dunia politik, pengalaman berorganisasi yang baik sangat dibutuhkan untuk pengorganisasian persoalan yang lebih besar, tetapi hanya sedikit dari anggota parlemen terpilih yang memilikinya.

Eva adalah salah satu anggota DPR yang telah memiliki pengalaman organisasi sosial politik cukup kuat, tetapi tidak lebih dari sepuluh perempuan di parlemen sekarang yang memiliki basis pengalaman seperti politisi PDI-P ini. Bahkan, ada delapan anggota Dewan perempuan yang tidak pernah terlibat kegiatan sosial politik.

Dilihat dari latar belakang usia, sebenarnya politisi perempuan parlemen saat ini sangat menjanjikan. Mayoritas dari kalangan usia produktif, di bawah 36 tahun. Ini berbeda sangat jauh dengan kondisi di periode sebelumnya yang didominasi dari kalangan usia di atas 50 tahun.

Selain itu, dari latar pendidikan yang disandangnya pun menjanjikan. Dari 102 perempuan di parlemen saat ini, 94 orang telah mengenyam pendidikan setidaknya sarjana. Hanya 8 perempuan yang lulusan SMA.

Kedua latar belakang inilah sebenarnya merupakan modal yang besar untuk bersuara di parlemen lebih keras dan berkualitas. Modal inilah yang membuat Eva Kusuma Sundari tetap optimistis melihat kehadiran sebagian besar anggota legislatif terpilih. Meskipun mereka tidak punya pengalaman, tentu saja semua butuh proses belajar.

”Dulu saya butuh waktu enam bulan baru bisa memahami dan tahu apa yang harus saya lakukan,” ujar Eva.

Optimisme dan harapan yang sama juga diungkapkan publik. Politisi perempuan di parlemen saat ini masih dapat mampu berkiprah lebih baik. Paling tidak, keyakinan ini tecermin dari 62 persen responden yang mengaku bahwa mereka sudah mendengar para politisi perempuan ini telah memperjuangkan nasib perempuan di Indonesia. (Litbang Kompas)

Sumber: Kompas (Senin, 21 Desember 2009)

No comments yet

Tinggalkan komentar