Lanjut ke konten

Selamat Datang

Testing

Rangkuman Regulasi Keuangan Negara/Daerah Terkait Covid-19

November 25, 2020

No.Nama RegulasiTanggal
1.Kepres 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).Keppres 2/2020 13 Maret 2020
2.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2020 Percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 di Lingkungan Pemerintah daerah.Permendagri 20/2020 14 Maret 2020
3.Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor S-239/MK.02/2020 perihal Insentif Bulanan dan Santunan kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Covid-19.SE Menkeu S-239/2020 24 Maret 2020
 Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 903/5467 Realokasi Anggaran, Optimalisasi Teknologi Informasi dan Percepatan Pengadaan Alat-Alat Penanganan Corona Virus Disease 2019 Tahun Anggaran 2020.SE Gub Aceh 903/2020 27 Maret 2020
4.Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19).Keppres 11/2020 31 Maret 2020
5.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.Perppu 1/2020 31 Maret 2020
6.Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).PP 21/2020 31 Maret 2020
7.Surat Edaran Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan TransmigrasiNomor 8 Tahun 2020 Tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa.SE Mendes 8/2020 2 April 2020
8.Surat Edaran KPK Nomor 8 Tahun 2020 Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.SE KPK 2 April 2020
9.Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran dan Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 19 di Lingkungan Pemerintah daerah.Inmendagri 1/2020 2 April 2020
10.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).Permenkes 9/2020 3 April 2020
11.Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 119/2813/SJ dan Nomor 177/KMK.07/ 2020 Percepatan Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020 dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional.SKB Mendagri-Menkeu 2020 9 April 2020
12.Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional.Keppres 12/2020 13 April 2020
13.Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.Permendes 12/2020 14 April 2020
14.Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi NasionalPP 23/2020 9 Mei 2020, diubah dengan PP 43/2020 4 Agustus 2020
15.Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi, dan Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahPermendagri 39/2020 27 Mei 2020
16.Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2020Inmendagri 5/2020 1 Agustus 2020

Regulasi Pengelolaan Anggaran Pemerintah Daerah Terkait Covid-19

November 25, 2020
by

Dr. Syukriy Abdullah (Dosen FEB Unsyiah)

Pandemi Covid-19 telah membawa pengaruh besar terhadap pelayanan pemerintah kepada rakyatnya, terutama untuk sektor kesehatan dan sosial, termasuk pada pemerintah daerah (Pemda). Pemerintah daerah dituntut untuk melakukan banyak hal yang dapat memberikan rasa nyaman, diayomi, dilindungi, dan diperhatikan pada masyarakat. Masyarakat membutuhkan kepastian tentang bentuk pembatasan aktivitas, ketersediaan fasilitas kesehatan, dan jaminan untuk bertahan hidup. Masyarakat bertanya-tanya: “kemana uang Pemda yang banyak itu? Mengapa tidak digunakan untuk “merelaksasi” kondisi masyarakat yang ketakukan, cemas, bingung, dan putus asa?

Meskipun awalnya terkesan ragu-ragu, pemerintah pusat (Pempus) kemudian memberikan arahan dan kewenangan kepada Pemda melalui penerbitan beberapa regulasi sebagai pedoman bagi Pemda dan instansi lainnya, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 (tanggal 31/3/2020), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 (31/3/2020), Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2020 (20/3/2020), dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun 2020 (14/3/2020). Selain itu, beberapa surat edaran (SE) dari kementerian dan kepala daerah dikeluarkan untuk implementasi di daerah.

Muara dari persoalan ini adalah ketersediaan dana di daerah. Pemda sebagai pengelola anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), mau tidak mau, harus mengeluarkan dana sangat besar untuk penanganan Covid-19. Masalahnya, setiap pengeluaran dari kas daerah harus lah didasarkan pada angka-angka yang tercantum dalam APBD yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) atau qanun. Mengingat wabah Covid-19 ini merebak setelah penetapan APBD tahun anggaran 2020, maka dapat dipastikan tidak ada angaran yang khusus untuk itu. Yang ada adalah anggaran belanja tidak langsung dengan nama rekening belanja tidak terduga (BTT).

Pada kondisi seperti ini, anggaran BTT yang ada dapat dipastikan tidak mencukupi. Artinya, harus ditambah alokasi anggarannya dalam perubahan APBD. Penegasan ini dinyatakan dalam Perppu 1 Tahun 2020 terkait kebijakan keuangan daerah (Pasal 1 ayat 4, Pasal 3 ayat 1), dimana Pemda boleh melakukan perubahan alokasi antarprogram dengan cara melakukan perubahan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD, sebelum nantinya dimasukkan dalam Perda/qanun perubahan APBD.

Ada beberapa hal penting yang ditekankan dalam regulasi-regulasi tersebut. Pertama, fokus pada kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah. Kedua, Pemda diberi kewenangan pemerintah daerah dalam urusan pendidikan, menjaga aktivitas ekonomi, dan perubahan kebijakan anggaran, sehingga dampak negatif dari Covid-19 dapat diminimalisir. Terakhir, Mendagri memberikan pedoman teknis untuk pengelolaan keuangan untuk penanganan Covid-19.

Mendagri kemudian menerbitkan Instruksi Menteri Nomor 1 Tahun 2020 pada tanggal 2 April 2020, yang ditujukan kepada gubernur, bupati, dan walikota, dengan 7 (tujuh) poin, yakni:

  1. melakukan refocusing dan/atau perubahan alokasi anggaran untuk meningkatkan kapasitas pelayanan kesehatan, penanganan dampak ekonomi, dan penyediaan jarring pengamanan sosial (social safety net).
  2. melakukan koordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) terkait hal-hal yang berhubungan dengan mobilitas masyarakat.
  3. Memastikan dan mengawasi kecukupan sembako di wilayah masing-masing dan tetap berjalannya operasi industri dan pabrik dengan memperhatikan protocol kesehatan (jaga jarak, tersedia hand sanitizer, dll.).
  4. Instruksi Mendagri ini harus dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak dikeluarkan atau paling lambat 9 April 2020.
  5. Apabila Pemda tidak melaksanakan Instruksi Mendagri ini makan dilakukakan rasionalisasi atau pemotongan dana transfer ke Pemda bersangkutan.
  6. Apparat pengawas intern pemerintah (APIP) secara berjenjang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Instruksi Mendagri ini.
  7. Instruksi Mendagri ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan (2 April 2020).

Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2020 ini memberikan penjelasan rinci tentang tata cara percepatan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran Pemda untuk 3 (tiga) hal, yakni penanganan kesehatan, penanganan dampak ekonomi, dan penyediaan social safety net. Aktivitas untuk penanganan kesehatan meliputi:

  1. Penggunaan dana Belanja Tidak Terduga (BTT) yang telah ada dalam APBD. Prioritas penggunaan BTT ini adalah untuk penyediaan sarana dan prasaran kesehatan berupa barang pelindung warga dan komunitas, dan alat pelindung petugas medis, serta penyediaan sarana prasarana kesehatan lainnya;
  2. Penyediaan sarana fasilitas kesehatan;
  3. Merekrut tenaga kesehatan/medis baru dan memberi pelatihan singkat;
  4. Memberi insentif bagi tenaga kesehatan/medis, investigator, relawan, dan tenaga lainnya menggunakan standar harga satuan di daerah;
  5. Penyemprotan desinfektan;
  6. Penyewaan rumah singgah untuk isolasi PDP;
  7. Pemeriksaan laboratorium bagi masyarakat;
  8. Pengadaan alat evakuasi korban positif Covid-19;
  9. Penanganan jenazah korban Covid-19; dan
  10. Penanganan kesehatan lainnya.

Dalam hal penanganan dampak ekonomi oleh Pemda dengan menggunakan BTT mencakup antara lain:

  1. Pengadaan bahan pangan dan kebutuhan pokok;
  2. Pemberian insentif berupa pengurangan/pembebasan pajak daerah; pelonggaran kewajiban perpajakan daerah, dan perpanjangan waktu pemenuhan kewajiban dana bergulir;
  3. Pemberian stimulus berupa penguatan modal usaha pada UMKM, dan penanganan dampak ekonomi lainnya

Sedangkan untuk aktivitas penyediaan social safety net dilakukan dengan cara pemberian hibah/bantuan sosial dalam bentuk uang dan/atau barang secara memadai, antara lain kepada:

  1. Individu/masyarakat terdampak atau memiliki risiko social seperti keluarga miskin, pekerja harian, dan individu lainnya;
  2. Fasilitas kesehatan milik masyarakat/swast yang ikut serta melakukan penanganan pandemik Covid-19; dan
  3. Instansi verikal yang terlibat penanganan Covid-19.

Apabila anggaran BTT yang ada tidak mencukupi, Pemda melakukan penjadwalan ulang terhadap kegiatan yang telah ditetapkan sebelumnya, perubahan alokasi anggaran dan pemanfaatan uang kas yang tersedia. Perubahan alokasi anggaran dilakukan terhadap beberapa kegiatan, seperti:

  1. Kegiatan yang didanai dari dana transfer Pempus dan dana transfer antar daerah;
  2. Belanja modal yang kurang prioritas;
  3. Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan;
  4. Hasil rasionalisasi belanja daerah untuk perjalanan dinas, kegiatan rapat, Pendidikan dan pelatihan, bimbingan teknis, sosialisasi, workshop, lokakarya, seminar atau kegiatan sejenis lainnya;
  5. Pengeluaran pembiayaan tahun berjalan; dan/atau
  6. Pemanfaatan dana yang berasal dari penerimaan daerah tahun 2020.

Untuk tujuan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, Instruksi Mendagri ini juga memberikan format laporan pertanggungjawaban APBD tahun anggaran 2020 untuk penanganan Covid-19 dan format laporan belanja tidak terduga dalam APBD tahun anggaran 2020 untuk penanganan Covid-19.

Pada tanggal 24 Maret 2020, Menteri Keuangan mengeluarkan surat edaran Nomor S-239/MK.02/2020 perihal Insentif Bulanan dan Santunan kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Covid-19. Insentif yang diberikan adalah: dokter spesialis Rp15 juta, dokter umum/gigi Rp10 juta, bidan dan perawat Rp7,5 juta, dan tenaga medis lainnya Rp5 juta. Sedangkan santunan kematian yang diberikan adalah sebesar Rp300 juta per orang. Sumber pendanaan untuk insentif dan tunjangan kematian ini di Pemda adalah dari pengalihan penggunaan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan/atau APBD.

Pemda mungkin saja diliputi kebimbangan terkait dengan penggunaan APBD tahun anggaran 2010 untuk penanganan pandemi Covid-19 karena takut terjerat masalah korupsi. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian mengeluarkan Surat Edaran KPK Nomor 8 Tahun 2020 dan mengingatkan Pemda agar dalam seluruh tahapan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa (PBJ) menghindari setidaknya 8 (delapan) perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, yakni:

  1. melakukan persekongkolan/kolusi dengan penyedia barang/jasa;
  2. memperoleh kickback dari penyedia;
  3. mengandung unsur penyuapan;
  4. mengandung unsur gratifikasi;
  5. mengandung unsur adanya benturan kepentingan dalam pengadaan;
  6. mengandung unsur kecurangan dan atau mal-administrasi;
  7. berniat jahat dengan memanfaatkan kondisi darurat; dan
  8. membiarkan terjadinya tindak pidana korupsi.

Kedelapan hal tersebut tidak boleh dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah, meskipun saat ini dalam kondisi darurat, yang membutuhkan efektivitas dalam pelaksanaan tugas penanganan Covid-19. Prinsip value for money, yakni diperolehnya barang/jasa yang tepat sesuai dengan biaya yang sesungguhnya, tetap menjadi pedoman, sehingga tansparansi dan akuntabilitas menjadi sebuah keniscayaan yang harus dipegang.

Perubahan APBD di Masa Pandemi Covid-19

November 25, 2020
by

Oleh: Dr. Syukriy Abdullah (Dosen FEB Universitas Syiah Kuala)

Penyesuaian anggaran merupakan salah satu langkah yang diambil Pemerintah dalam menghadapi Pandemi Covid-19, yang mulai melanda Indonesai di triwulan pertama 2020. Penyesuaian anggaran bersifat parsial dan murni berdasarkan diskresi Pemerintah yang harus dipatuhi oleh pemerintah daera (Pemda). Di sukai atau tidak, Pemda harus merevisi sebagian APBDnya, sebab jika tidak, Pemerintah akan menunda pentransferan dana perimbangan yang menjadi bagian daerah.

Namun, bagi sebagian daerah, penyesuaian anggaran di masa Pandemi Covid-19 seperti sebuah berkah karena bencana (blessing in disguise). Tak diharapkan, tapi menjadi sesuatu yang membuahkan keuntungan. Hal ini didukung dengan regulasi dari Pemerintah yang menyatakan bahwa kesalahan dalam pengelolaan keuangan oleh pejabat negara dan daerah tidak dapat dituntut secara hukum. Pandemik Covid-19 menjadi tameng sekaligus topeng untuk menggunakan uang publik tanpa harus mengikuti mekanisme dan akuntabilitas publik yang normal. Semua berada di masa tidak normal.

Apakah penyesuaian anggaran sama dengan perubahan anggaran yang biasanya dilakukan setelah melewati satu semester tahun anggaran berkenaan? Atau, apakah penyesuaian anggaran yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota). Pertanyaan ini menjadi penting karena sampai bulan Agustus 2020 ini, beberapa kepala daerah belum penyampaikan rancangan KUA dan PPAS perubahan. Bahkan, ada kepala daerah yang bahkan belum menyerahkan laporan realisasi semester pertama dan prognosis enam bulan berikutnya kepada DPRD. Sebagai contoh adalah Pemerintah Aceh: Plt. Gubernur belum menyampaikan laporan realisasi semester pertama tersebut kepada DPRA.

Kekuasaan Eksekutif atas APBD

Proses penyusunan anggaran di Daerah secara teknokratik dilakukan oleh eksekutif. Tim anggaran Pemda (TAPD) menjadi pelaku utama dalam penyusunan draf APBD oleh ekskutif ini, yang kemudian disampaikan ke legislatif dan dibahas bersama badan anggaran (Banggar) DPRD, sebelum diputuskan secara politik. Secara teknis, eksekutif lebih menguasai proses penyiapan APBD, tapi secara politik DPRD berperan dalam menentukan suatu usulan dimasukkan ke dalam APBD atau tidak.

Dua pihak yang bersepakat dan berkompromi dalam penentuan APBD memiliki dua cara pandang sekaligus kepentingan yang berbeda, yakni pemerintah daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif). Sebagai penyusun sekaligus pelaksana, serta penanggungjawab pelaksanaan anggaran daerah, eksekutif memiliki penguasaan yang lebih kuat dan kekuasaan yang lebih besar terhadap APBD dibandingkan legislatif. Teknis penganggaran dilaksanakan oleh eksekutif sejak penyusunan dokumen perencanaan

Eksekutif cenderung melihat perubahan APBD tidak dibutuhkan lagi, karena menganggap ketentuan untuk melakukan “refocusing dan realokasi” yang telah dierintahkan oleh pemerintah pusat sama dengan perubahan anggaran itu sendiri. Di pihak lain, Legislatif beranggapan bahwa refocusing dan realokasi belum mencakup hal-hal penting yang harus disesuaikan dalam anggaran daerah, sehingga perubahan APBD yang sesungguhnya tetap harus dilakukan. Kebutuhan anggaran untuk pelayanan masyarakat tidak tercakup seluruhnya dalam anggaran refocusing dan realokasi yang lebih ditekankan untuk persoalan kedaruratan karena adanya bencana/pandemi.

Mengapa Perlu Perubahan APBD?

Beberapa peraturan dan petunjuk teknis telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mengatur pengelolaan keuangan daerah terkait dengan Pandemi Covid-19 di tahun 2020 ini, mulai dari undang-undang sampai peraturan dan keputusan menteri. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 119/2813/SJ – Nomor 177/KMK.07/2020 Tentang Percepatan Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020 dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional, tanggal 9 April 2020, dapat dijadikan landasan untuk memahami perlu tidaknya perubahan APBD dalam tahun 2020 ini.

Pada diktum keenam SKB Mendagri dan Menkeu 2020 tersebut menegaskan bahwa: Penyesuaian target pendapatan daerah dan rasionalisasi belanja daerah dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan perubahan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Tahun Anggaran 2020 dengan pemberitahuan kepada Pimpinan DPRD, untuk selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2020 atau ditampung dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) bagi Pemerintah Daerah yang tidak melakukan perubahan APBD Tahun Anggaran 2020.

Inti dari diktum keenam ini adalah: Pertama, eksekutif melakukan perubahan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Tahun Anggaran 2020 dan menyampaikan pemberitahuan kepada Pimpinan DPRD. Meskipun hanya berupa pemberitahuan, penyampaian haruslah dilakukan secara akuntabel (bertanggungjawab) dan tidak asal-asalan. Artinya, harus dilandasi dengan pertimbangan dan perhitungan yang matang (teknokratis).

Kedua, substansi yang telah terantum dalam Perkada tentang Perubahan penjabaran APBD tersebut kemudian dituangkan atau disajikan dalam Perda tentang Perubahan APBD TA 2020. Hal ini bermakna bahwa perubahan APBD tetap dilakukandengan mencakup semua hal yang telah diubah atau disesuaikan dalam Perkada Perubahan Penjabaran APBD tersebut.

Diktum Keduabelas SKB Mendagri dan Menkeu 2020 tersebut lebih jauh menyatakan bahwa “Dalam rangka memastikan pelaksanaan penyesuaian APBD tahun anggaran 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan kabupaten/kota agar melakukan pengawasan terhadap proses penyesuaian APBD tahun anggaran 2020 di masing-masing Daerah.”

Makna dari Diktum Keduabelas ini adalah keharusan adanya pelibatan DPRD dalam proses penyesuaian APBD dan akan berkaitan erat dengan perubahan APBD tahun berjalan nantinya. Fakta yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa penyesuaian anggaran telah dilakukan (melalui perubahan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD) dan berikutnya akan dilakukan perubahan APBD (melalui perubahan peraturan daerah tengan APBD). Pengawasan di sini memiliki arti adanya pelibatan DPRD dalam proses penyusunan penyesuaian/perubahan APBD, untuk memastikan bahwa semua berjalan sesuai dengan arah yang telah ditentukan untuk mencapai target yang telah ditetapkan.

APBD, yang selama tahun berjalan dapat mengalami penyesuaian dan/atau perubahan, adalah dokumen yang digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan daerah. Dokumen ini ditetapkan dengan peraturan daerah untuk menunjukkan adanya pendelegasian kewenangan dari Rakyat (melalui wakil rakyat di DPRD kepada kepala daerah (selaku eksekutor dengan seluruh perangkat daerah yang ada di bawahnya).

Sebelum SKB Mendagri dan Menkeu 2020 keluar, telah diterbitkan Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran dan Percepatan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Pemerintah Daerah, tanggal 2 April 2020. Instruksi Mendagri ini menyatakan bahwa substansi perubahan Peraturan Kepala Daerah mencakup 3 (tiga) hal, yakni: (1) Penanganan Kesehatan dan hal-hal lain terkait Kesehatan; (2) Penanganan dampak ekonomi terutama menjaga agar dunia usaha daerah masing-masing tetap hidup; dan (3) Penyediaan jaring pengamanan sosial (social safety net). Artinya, penyesuaian anggaran untuk refocusing dan realokasi hanya mencakup tiga hal tersebut, sementara hal-hal lain yang lebih luas tidak diatur.

Terkait dengan perubahan APBD, Pasal 161 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan bahwa: “Perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan apabila terjadi:

  1. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
  2. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar organisasi, antar unit organisasi, antar Program, antar Kegiatan, dan antar jenis belanja;
  3. keadaan yang menyebabkan SiLPA tahun anggaran sebelumnya harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan;
  4. keadaan darurat; dan/atau
  5. keadaan luar biasa.

Berdasarkan Pasal 161 PP No. 12/2019 tersebut dapat dipahami bahwa Perubahan APBD TA 2020 memiliki cakupan yang lebih luas daripada refocusing dan realokasi (yang telah dilakukan pemerintah daerah melalui perubahan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD TA 2020). Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah (eksekutif) untuk menunda atau tidak menyampaikan rancangan KUA dan PPAS tentang Perubahan APBD TA 2020 kepada DPRD. Rancangan KUA dan PPAS menjadi dasar untuk dilaksanakannya pembahasan dan penandatangan kesepakatan bersama dan dilanjutkan dengan penyampaian rancangan APBD Perubahan APBD TA 2020 oleh kepala daerah ke DPRD.

Di sisi lain, ekskutif memiliki excuse atau pembenaran atas sikap dan tindakannya untuk tidak perlu menyampaikan KUA dan PPAS kepada DPRD, yakni Pasal 91 PP No.12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 91 tersebut menyatakan:

Dalam hal Kepala Daerah dan DPRD tidak menyepakati bersama rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), paling lama 6 (enam) minggu sejak rancangan KUA dan rancangan PPAS disampaikan kepada DPRD, Kepala Daerah menyampaikan Rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD berdasarkan RKPD, rancangan KUA, dan rancangan PPAS yang disusun Kepala Daerah, untuk dibahas dan disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 91 ini menjadi sumber masalah bagi keharmonisan dalam penganggaran dan pengelolaan keuangan daerah karena membenturkan antara eksekutif (kepala daerah) dan legislatif (DPRD). Pasal ini mengebiri fungsi pengawasan DPRD terhadap anggaran dan legislasi yang telah ditetapkan. Pasal ini mendorong ekskutif untuk bersikap membangkang, bahkan arogan, untuk tidak menyampaikan rancangan KUA dan PPAS tepat waktu dan bisa “mengatur” substansi APBD untuk kepentingan eksekutif dan kepentingan masyarakat dalam perspektif eksekutif. Harus diingat bahwa substansi APBD harus disepakati dulu dalam dokumen KUA dan PPAS, yang dibahas secara mendalam oleh DPRD melalui komisi-komisi Bersama SKPD terkait, yang dilanjutkan dengan pembahasan antara TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dan Banggar (Badan Anggaran) DPRD.

Pasal 46 PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan bahwa: Apabila DPRD sampai batas waktu tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancanagn Perda tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan, yang disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD. Bunyi pasal 46 ini sejalan denganPasal 313 Ayat (1) UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan: Apabila kepala daerah dan DPRD tidak mengambil persetujuan Bersama dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak disampaikan rancangan Perda tentang APBD oleh kepala daerah kepada DPRD, kepala daerah menyusun dan menetapkan Perkada tentang APBD paling tinggi sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan.

Jika dibandingkan dengan Pasal 46 PP No. 58/2005 dan Pasal 313 Ayat (1) UU No. 23/2014, maka Pasal 91 justru merusak dan mengaburkan fungsi anggaran DPRD. Oleh karena itu, Pasal 91 ini seharusnya direvisi oleh Pemerintah, agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah. Selain itu, Pemerintah mengingkari aturan yang telah ditetapkan dalam Pasal 101 dan 154 UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Tugas dan Wewenang DPRD diantaranya: (1) membentuk Perda; (2) membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda tentang APBD; (3) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD; dan (4) meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan.

Simpulan

Penyesuaian anggaran yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam konteks pandemic Covid-19 dengan bentuk perubahan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD bukan lah merupakan perubahan APBD tahun berjalan, atau menggantikan perubahan APBD. Oleh karena itu, perubahan Perda (qanun)  tentang APBD tetap harus dilakukan sehingga kondisi yang luar biasa selama pandemi Covid-19 dapat diakomodir dalam anggaran daerah. DPRD (legislatif) harus memaksa kepala daerah (eksekutif) untuk menyampaikan rancangan perubahan KUA dan PPAS tahun anggaran 2020

Banda Aceh, 29 Agustus 2020. 

Apakah Ada Perubahan APBD di Masa Covid?

Agustus 23, 2020

Perubahan anggaran di pemerintahan daerah di masa Pandemi Covid-19, sampai bulan Agustus 2020 ini, menjadi topik diskusi yang penting dalam koridor pengelolaan keuangan daerah. Dua pihak yang bersepakat dan berkompromi dalam penentuan APBD memiliki dua cara pandang sekaligus kepentingan yang berbeda, yakni pemerintah daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif).

Baca selengkapnya…

ANALISIS SERAPAN ANGGARAN BELANJA PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TENGAH

Januari 21, 2020

Ruhmaini, Syukriy Abdullah, Darwanis

Abstrak
Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mengoptimalkan pengelolaan keuangan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Salah satu masalah pengelolaan keuangan yang sering ditemui adalah serapan anggaran belanja daerah pada APBK diakhir tahun anggaran seringkali berada dibawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggarannya. Hal ini akan mengakibatkan hilangnya manfaat belanja karena dana yang dialokasikan ternyata tidak semuanya dapat dimanfaatkan, yang artinya terjadi iddle money. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis serapan anggaran belanja Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah berdasarkan jenis belanja, berdasarkan fungsi dan berdasarkan organisasi. Data yang dianalisis terdiri dari data sekunder yang diperoleh dari qanun APBK Aceh Tengah tahun 2012-2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serapan anggaran belanja bedasarkan jenis belanja, fungsi dan organisasi berfluktuatif setiap tahunnya. Rata-rata serapan anggaran dari tahun 2012 sampai dengan 2015 berdasarkan jenis belanja sebesar 87,03%, rata-rata serapan belanja berdasarkan fungsi sebesar 93,32%, dan rata-rata serapan belanja berdasarkan organisasi sebesar 94,44%.
Kata kunci: Serapan anggaran, jenis belanja, fungsi belanja, organisasi. pemerintah daerah.

Link Artikel Asli.

Serapan Anggaran Pada Organisasi Perangkat Daerah: Bukti Empiris dari Kota Banda Aceh

Januari 21, 2020

Syukriy Abdullah, Muhtar, Marwan, Aliamin

ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh besaran anggaran (BA), perubahan anggaran (PA), dan sisa anggaran tahun sebelumnya (SI) terhadap serapan anggaran (SA) pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kota Banda Aceh. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 SKPD untuk tahun anggaran 2013-2016, sehingga diperoleh 120 pengamatan. Analisis data menggunakan model regresi linear berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa BA tidak berpengaruh terhadap SA, sedangkan PA dan SI berpengaruh negatif terhadap SA.
Kata Kunci: serapan anggaran, besaran anggaran, perubahan anggaran, sisa anggaran tahun sebelumnya, satuan kerja perangkat daerah.

Link artikel lengkap: Researchgate

Analisis Belanja Daerah Sektor Pendidikan sebagai Pemediasi Pengaruh DBH, DAU, DAK, dan PAD terhadap Outcomes Bidang Pendidikan pada Pemerintah Provinsi di Indonesia

Januari 21, 2020

Dara Amelia, Muhammad Arfan, Syukriy Abdullah

FEB Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Dana Bagi Hasil, (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik secara bersamasama maupun parsial terhadap outcomes bidang pendidikan dengan belanja daerah sektor pendidikan sebagai pemediasi. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pemerintah provinsi di Indonesia, total populasi sebanyak 32 pemerintah Provinsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder, data sekunder yang digunakan adalah laporan realisasi APBD pemerintah daerah dan data outcomes bidang pendidikan berupa jumlah Angka Melanjutkan (AM) sekolah dari SMP/ MTs ke SMA/SMK/MA di Indonesia. Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis jalur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan pendapatan asli daerah secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja daerah sektor pendidikan; (2) dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan pendapatan asli daerah secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja daerah sektor pendidikan; (3) dana alokasi khusus secara parsial berpengaruh negatif terhadap belanja daerah sektor pendidikan; (4) dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, pendapatan asli daerah dan belanja daerah sektor pendidikan secara bersama-sama dan parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap outcomes bidang pendidikan; (5) dana bagi hasil dan dana alokasi umum memediasi pengaruh belanja daerah sektor pendidikan dan outcomes bidang pendidikan; dan (6) dana alokasi khusus dan pendapatan asli daerah tidak memediasi pengaruh belanja daerah sektor pendidikan dan outcomes bidang pendidikan.

Link Artikel lengkap...

 

Tentang Riset Keuangan Daerah

Januari 20, 2020

Riset keuangan daerah (RKD) telah berkembang pesat sejak otonomi daerah diimplementasikan di Indonesia pas ditetapkannya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi fiskal yang kemudian mengikuti, menambah persoalan mendasar yang harus diselesaikan secara berkelanjutan, mengikuti perkembangan kebutuhan dan kebijakan di daerah. Baca selengkapnya…

Plagiasi….

Januari 10, 2018
by

Afi Nihaya Faradisa adalah seorang facebooker yang sangat terkenal karena status-statusnya di-like puluhan ribu orang. Tulisannya yang jadi hits berjudul ‘Warisan’. Saya tidak sepakat 100% dengan isinya, tapi menurut saya, sah-sah saja orang berpendapat dan berproses. Dan sebuah tulisan yang baik (bukan hoax atau hate speech), selayaknya ditanggapi dengan baik dan beradab. Tapi anehnya, tulisan […]

melalui Afi, Plagiarisme, dan Logical Fallacy — Dina Y. Sulaeman

[Parenting] Bunda Elly Risman dan LGBT

Januari 10, 2018
by

Tulisan yang sangat bagus…

Dina Y. Sulaeman

loveDi grup-grup WA dan FB dari kemarin beredar link video 30 menit Bunda Elly Risman. Saya sudah nonton dan merinding banget. Padahal isi pembicaraan bunda Elly sudah berkali-kali saya dengar (dan saya sampaikan ulang, kalau sesekali diminta ngisi kajian parenting). Tapi, kali ini seiring dengan isu LGBT akhir-akhir ini, Bu Elly terlihat emosional, suaranya bergetar, dan berkali-kali matanya berkaca-kaca.

Intinya, berbagai bentuk penyimpangan perilaku anak (mulai dari yang sederhana: bohong, lelet, malas… sampai ke yang parah: selfie telanjang, kecanduan pornografi, hingga seks bebas dan same-sex attraction/gay/lesbi,dll) berakar dari kesalahan pola asuh orang tua.

Kesalahannya seperti apa sih? Bisa liat sendiri di video. Di video bagian awal bu Elly menyebut kesalahan komunikasi, “cara bicara ortu yg korup” –> itu maksudnya 13 gaya komunikasi yang salah. Jadi logikanya: cara komunikasi kita yang salah akan berefek buruk pada kepribadian anak (misal, jadi penakut, alay, gampang dipengaruhi orang, tidak tegas memegang prinsip –> nah…

Lihat pos aslinya 1.824 kata lagi

Keterlambatan Pengesahan APBD: Siapa yang Salah?

Januari 10, 2018

Isu paling panas yang hampir selalu terjadi di setiap awal tahun, tepatnya pada bulan Januari, adalah keterlambatan pengesahan anggaran pemerintah daerah (baca: APPBD). Bagi masyarakat awam, sulit dipahami mengapa bisa terlambat, mengingat akibatnya yang besar bagi pelaksanaan proyek pembangunan dan
pembayaran lain yang memiliki dampak terhadap aktivitas ekonomi masyarakat.

PENGERTIAN ANGGARAN DAERAH
Anggaran adalah media untuk merencanakan penggunaan dana milik rakyat oleh Pemerintah dan menampung penerimaan yang sah menurut peraturan peundang-undangan. Bagi pemerintah, APBN atau APBD adalah alat untuk melegitimasi pembayaran-pembayaran yang akan dilakukan, sehingga terhindar dari “dosa” yang disebut korupsi atau penyalahgunaan uang negara.
Anggaran sudah ditentukan periodenya, yang disebut dengan satu tahun anggaran, yang interval waktunya dimulai dari 1 Januari sampai 31 Desember di tahun yang sama. Anggaran dapat direvisi pada saat dilaksanakan jika diperlukan dengan proses yang hampir sama dengan yang dilaksanakan dalam penyusunan anggaran awal (murni).
Pada tanggal 31 Desember anggaran berakhir. Artinya dana yang sudah diplot dalam APBD tidak boleh digunakan lagi. Untuk pekerjaan mulai 2 Januari harus menggunakan anggaran di tahun berikutnya, kecuali adanya kebijakan lain berupa pelaksanaan kegiatan lanjutan (DPAL). Secara teknis, semua diatur dalam peraturan daerah (di Aceh: qanun) dan peraturan kepala daerah (sebagai pedoman teknis pelaksanaan).
—–
KETERLAMBATAN PENETAPAN APBD
Keterlambatan pengesahan atau penetapan APBD adalah kondisi di mana pada tanggal 31 Desember Perda tentang APBD untuk tahun berikutnya belum diketuk palu oleh DPRD dan kepala daerah. Artinya, belum ada kesepakatan yang ditetapkan bersama-sama tentang APBD yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya. Keterlambatan ini biasanya terjadi karena ada ketidaksepakatan antara DPRD dan kepala daerah tentang substansi APBD tersebut.
Ada beberapa penyebab keterlamabatan penetapan APBD, yakni:
1. Keterlambatan dalam penyampaian dokumen anggaran oleh kepala daerah (selaku eksekutif diwakili oleh TAPD) kepada DPRD (selaku legislatif diwakili oleh Banggar);
2. Terjadinya ketidaksepakatan antara eksekutif dan legislatif atas program dan kegiatan yang diusulkan dalam rancangan anggaran (PPAS dan RAPBD);
3. Adanya usulan baru yang tidak diakomodir sehingga menimbulkan ketidakpuasan di salah satu pihak, terutama legislatif;
4. Adanya persoalan nonteknis, seperti kepala daerah sedang keluar daerah, sementara DPRD tidak mau membahas rancangan APBD tanpa kehadiran kepala daerah;
5. Dan lain-lain.
——

SIAPA YANG SALAH?

APBD adalah dokumen yang keputusan penetapannya ada di (hanya) dua pihak, yakni eksekutif (kepala daerah) dan legislatif (DPRD). Jika terlambat ditetapkan, maka kedua belah pihak inilah yang salah. Namun, perlu dianalisis lebih jauh mengapa terjadi hal seperti ini, mengingat implikasi dan konsekuensinya sangat besar. Selain mencerminkan kepala daerah dan DPRD yang tidak amanah pada titipan kepercayaan rakyat kepada integritas mereka, juga memperlihatkan keegoisan para petinggi daerah dalam melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin dan wakil rakyat.

Konsekuensi ekonomi mungkin jauh lebih besar dan ini ditanggung oleh masyarakat banyak. Keterlambatan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan (proyek) menimbulkan costs yang besar bagi kontraktor, tenaga kerja yang menganggur, pedagang bahan bangunan yang barangnya tidak laku, dan ketersediaan infrastruktur yang tertunda.

Bagi pejabat daerah, keterlambatan akan mempengaruhi kinerja anggarannya. Selaku pengguna anggaran, kepala SKPD memilik tanggung jawab untuk merealisasikan anggarannya sampai mencapai 100%. Pencapaian 100% bermakna kepala SKPD telah mampu melaksanakan semua kegiatan yang menjadi kewenangannya, yang diusulkan sendiri pada saat penyusunan APBD.

Perguruan Tinggi di Ambang Bahaya

Juli 6, 2017
by

 

Asep Saefuddin
Guru Besar Statistika FMIPA IPB/Rektor Universitas Trilogi

Membaca berita kebangkrutan Sevel (Seven Elevent), saya terbayang akan nasib perguruan tinggi di Indonesia. Karena bisa saja berita duka itu akan menimpa juga perguruan tinggi masa depan, atau bahkan saat ini pun sudah terjadi. Tanda-tanda meredupnya universitas saat ini mulai terasa.

Sevel akan tutup tanggal 30 Juni 2017 karena berbagai faktor internal dan eksternal. Secara internal bisa saja disebabkan oleh lemahnya perencanaan. Akan tetapi hal itu disebabkan oleh faktor eksternal terutama regulasi pemerintah yang tidak kondusif terhadap ekspansi Sevel. Faktor kedua inilah yang cukup mengerikan.

Secara umum kondisi PT juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Memang secara teori, faktor eksternal harus dijadikan konsideran dalam melakukan strategi dalam perencanaan. Salah satu metode yang sering dipergunakan adalah analisis SWOT dengan memasukkan faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan, sekaligus peluang dan ancaman sebagai faktor eksternal. Dalam konteks ini pada umumnya orang kampus adalah jagonya.

Persoalannya terletak pada regulasi yang tidak dapat dijadikan faktor eksternal dalam analisis SWOT. Regulasi bukan kendala, tetapi “predicament”, yakni suatu kondisi sulit dihindari tetapi bisa jadi penghambat kemajuan. Predicamant sering juga disebut masalah “beyond problem”. Penanggulangannya biasa dilakukan melalui ‘siasat’ yang memerlukan unsur KKN. Semacam penyelesaian secara adat yang tidak berlaku umum. Hal inilah yang menyebabkan bisnis menjadi mahal dan tidak produktif, unproductive high cost economy.

Kondisi eksternal yang tanggung seperti regulasi inilah yang menyebabkan sevel menjadi tidak kompetitif dan berdarah-darah (bleeding) lalu ujungnya bangkrut. Saya pikir keadaan ini lebih parah ketimbang kejadian Nokia, Kodak, atau perusahaan yang koleps akibat kesalahan internal. Ingat, bahwa PT akan mengalami nasib yang sama bila tidak ada perubahan regulasi pemerintah dalam dunia pendidikan (tinggi).

Internal Perguruan Tinggi

Bila dilihat sekedar berjalan terutama dalam hal pengajaran, PT bisa saja tidak ada masalah. Setiap hari mahasiswa masuk kelas dan dosen menyampaikan materi perkuliahan secara rutin. Kehadiran mereka umumnya dipicu oleh unsur kehadiran yang bersifat wajib. Mahasiswa sibuk mengisi daftar hadir yang diparaf dosen. Mahasiswa diancam tidak boleh ujian bila kehadirannya kurang dari 80%. Demikian juga dosen akan kena sanksi tidak menerima uang transpor dan honor mengajar. Bagi dosen pada umumnya, ancaman ini adalah horor dalam kehidupan. Demikianlah rutinitas pendidikan tinggi kita, cenderung monoton dan jarang ditemukan inovasi.

Lebih dalam sedikit tentang proses pembelajaran, banyak dosen yang sekadar bertugas menyampaikan materi. Selain pola masih bersifat satu arah dengan pola “teacher-centered”, juga bahan kuliah relatif usang. Mahasiswa pada umumnya tidak punya pilihan, sehingga menerima apa adanya baik proses atau pun bahan kuliah. Bedanya hanya dalam alat, kalau dulu masih foto copy, saat ini floppy disk.

Materi berbasis jurnal atau kasus-kasus nyata jarang dimiliki dosen karena berbagai faktor seperti fasilitas, finansial, dan jejaring. Walaupun tugas dosen adalah tridharma, beban mengajar tetap dominan. Dharma riset dan pengabdian masyarakat masih jauh panggang dari api. Dosen sangat disibukkan dengan tugas mengajar, mengoreksi PR, membuat soal ujian dan memeriksa hasilnya. Inilah tugas-tugas dosen pada umumnya, di PTN BH (Badan Hukum) sekalipun. Kultur inovasi yang penting bagi calon entrepreneur dan peneliti kurang mendapat porsi.

Keadaan seperti ini terjadi karena dana riset kita masih sangat kecil yang harus diperebutkan oleh banyak orang. Ditambah lagi sistem pelaporan riset yang masih berbelit telah menyebabkan para dosen sangat pragmatis. Yang penting ada riset, kualitas bukan urusan. Pada saat yang sama, perusahaan swasta masih enggan memberikan hibah riset ke PT. Semangat aplikasi riset ini kurang mendapat dukungan regulasi. Perusahaan merasa riset tidak banyak manfaatya bagi perkembangan bisnis. Dalam jangka pendek, juga tidak memberikan dampak positif terhadap perusahaan. Misalnya hibah riset perusahaan tidak ada kaitannya dengan pengurangan pajak perusahaan. Pendeknya, tidak ada insentif bagi perusahaan yang mengucurkan hibah riset ke universitas.

Kondisi tersebut di atas telah mengakibatkan dunia pendidikan tinggi hanya berkutat di pengajaran. Padahal, tanpa kekuatan riset, PT menjadi mandul tidak mampu mengasah kemampuan inovasi mahasiswa. Kegiatannya tidak banyak berbeda dengan kursus-kursus yang memang hanya mengasah kognitif, bukan kreativitas. Kampus-kampus di USA yang tidak kuat dalam riset pun mengalami nasib yang serupa. Mahasiswa cenderung mengikuti apa kata dosen. Lagu “my way” pun diplesetkan jadi “their way”.

Kesenjangan Dengan Dunia Luar

Sudah umum diketahui adanya diskonektifitas atau kesenjangan antara PT dan dunia industri. Fokus dan prioritas riset di PT umumnya tidak berkaitan dengan kebutuhan industri. Sangat sedikit hasil-hasil riset PT yang diadopsi oleh perusahaan. Industri yang ada hanya merupakan perpanjangan tangan industri induk di luar negeri. Hampir tidak ada hasil riset mendasar yang dilakukan di Indonesia yang berkaitan dengan industri.

Industri berbasis bahan baku lokal yang sesuai dengan kultur lokal bisa dihitung jari. Dalam dunia pengobatan, misalnya, “personal medicine” yang berkembang di berbagai negara hampir tidak terdengar di dunia riset kita. Padahal bidang itu sangat diperlukan di Indonesia yang multi suku-bangsa. Untung masih ada perusahaan jamu yang meneruskan tradisi nenek moyang mereka. Tetapi bisnis ini pun luput dari topik riset PT kita.

Keadaan itu adalah bukti kurang dekatnya PT dan industri. Begitu juga unsur pengajaran, PT kurang memperhatikan persoalan dunia industri. Apa yang diajarkan tidak terlalu relevan dengan dunia usaha dan industri. Kondisi ini merugikan dua-duanya, terutama mahasiswa yang seharusnya terdedah oleh kebutuhan industri. Tidak jarang perusahaan harus membuka program training bagi calon pegawai yang berasal dari berbagai program studi. Jangan heran bila banyak pegawai perbankan berasal dari jurusan agronomi, perikanan, peternakan, antropologi, astronomi, serta ilmu-ilmu dasar kealaman, selain dari ekonomi dan manajemen. Hal ini juga terjadi untuk industri lainnya.

Memang bagi para lulusan hal itu tidak dirasakan sebagai masalah, sejauh salari yang diterima cukup baik. Akan tetapi bagi industrialisasi negara, sebenarnya ketidaknyambungan ini adalah kemubaziran. Negara tentu harus mempunyai rencana besar pembangunan ekonomi yang mengait dengan riset, PT, pengembangan wilayah, industrialisasi, sumber daya alam, dan sumber daya manusia. Dewasa ini, negara kehilangan arah dan ide untuk menyambungkan kekuatan SDA dan SDM dalam proses industrialisasi. Terlalu terpaku pada business as usual yang itu-itu saja.

Faktor Regulasi

Tidak mustahil lesunya industri dan rapuhnya PT itu akibat faktor regulasi yang tidak kondusif terhadap perubahan zaman. Pemerintah yang terlalu kuat dengan regulasi cenderung ingin dilayani, bukan melayani. Selain itu, perijinan bisa jadi senjata agar institusi bisnis dan pendidikan tunduk dan taat kepada pemerintah. Biasanya dalam hal ini ujung-ujungnya duit. Kultur ini sudah cukup kronis di negara ini, sehingga index kompetitif global kita jauh di bawah negara-negara tetangga.

Regulasi yang super ketat berdampak kurang baik bagi institusi pendidikan tinggi. Kita kena cilaka tiga belas. Pertama, PT cenderung mencari aman, tidak mau melakukan eksperimen inovatif dalam menjalankan organisasinya. Kedua, PT cenderung mencari indikator semu yang bersifat pencitraan. Ketiga, terjadi standardisasi yang masif sehingga proses pembelajaran cenderung transaksional berbasis kontrak kuliah yang dibuat sangat kaku dan standard. Keempat, pola pembelajaran berpola dosen sentris untuk mengejar efisiensi dan efektivitas kurikulum yang kurang fleksibel. Kelima, kurang penghargaan terhadap kreativitas mahasiswa. Keenam, tujuan riset sangat pragmatis, hanya untuk memenuhi kum kenaikan pangkat dosen. Ketujuh, birokrasi kampus mengikuti pola pemerintahan teknis, tidak berbasis pola akademis yang cenderung bebas. Kedelapan, upacara seremonial dan hubungan atasan bawahan lebih mendominasi daripada pola kolegial akademis. Kesembilan, jejaring PT dan industri tidak berkembang. Kesepuluh, PT hanya peduli pada pemasukan dana berbasis mahasiswa, selain APBN bagi PTN. Kesebelas, PT kurang peduli terhadap persoalan luar yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan masyarakat. Keduabelas, PT cenderung jago kandang, tidak berani melakukan ekspansi program dan wilayah, apalagi ke Manca Negara. Ketigabelas, PT tidak mampu memotivasi mahasiswa untuk membuat perusahaan startup bisnis.

Dari ketigabelas efek akibat regulasi kaku yang dikenakan ke PT itu banyak sekali turunan negatif terhadap ekosistem pendidikan. Yang paling dirugikan adalah mahasiswa. Mereka bisa saja pintar, tetapi kurang kreatif, kurang berani berinisiatif, dan kurang mampu bekerjasama. Begitu lulus, mereka umumnya jadi tenaga kerja walaupun tidak sesuai dengan keahliannya.

Jalan Keluar

Sebagai solusi dari persoalan di atas adalah perlu pelonggaran regulasi pendidikan tinggi. Pemerintah dapat memberi kepercayaan kepada PT dalam menjalankan tridharmanya. Keleluasaan ini dapat menjadi landasan para dosen untuk berinovasi dalam menjalankan pendidikan. Intinya proses pendidikan serahkan saja kepada para pengelola PT dan dosen.

Pemerintah cukup membuat program-program hibah untuk riset, pendidikan, dan pengabdian pada masyarakat. Dalam hal penjaminan mutu, pemerintah fokus pada indikator outcome, seperti paper, prototype, kerjasama industri, dan desa-desa binaan. Adapun indikator input dan proses diserahkan kepada pihak universitas. Universitas dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dan swasta untuk peningkatan mutu SDM setempat dan riset, selain juga untuk proses pembelajaran mahasiswa.

Dengan demikian kelembagaan kementerian riset dan dikti tidak perlu terlalu besar. Kopertis yang saat ini menjadi penghubung PTS dan pemerintah perlu dipikirkan ulang keberadaannya. Dengan adanya teknologi yang semakin canggih saat ini, koordinasi antar PT dan pemerintah tidak perlu tatap muka yang terlalu sering. Sehingga kementerian bisa lebih ramping dan tidak penuh sesak oleh pegawai.

Pemerintah, dalam hal ini imigrasi, harus memberikan fasilitas yang luas bagi mahasiswa asing. Jumlah mahasiswa asing dapat dijadikan kriteria pemberian hibah dari pemerintah kepada PT. Intinya regulasi harus kondusif terhadap pertumbuhan, perkembangan, kreativitas, dan inovasi sivitas akademika. Bukan malahan sebaliknya, bersifat mengekang warga kampus karena ketidakpercayaan. Untuk itu, revolusi mental pembuat kebijakan menjadi persyaratan utama.