Lanjut ke konten

Lima Tahun Disclaimer

Juni 24, 2009

Editorial Media Indonesia (19 Juni 2009)

Sebodoh-bodohnya keledai, kata orang bijak, tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama untuk yang kedua kali. Bagaimana dengan laporan keuangan pemerintah?

Badan Pemeriksa Keuangan baru saja mengeluarkan hasil audit terhadap laporan keuangan pemerintah pusat untuk tahun anggaran 2008. Hasilnya, lagi-lagi disclaimer, istilah audit yang berarti tidak pantas memberikan pendapat. Itulah disclaimer kelima berturut-turut dalam lima tahun terakhir. Aduhai….

BPK mencatat, setidaknya, 12 perkara penggunaan keuangan negara yang tidak cukup jelas pertanggungjawabannya. Piutang pajak, hibah, dana, rekening liar, dana alokasi khusus, pengakuan utang, dan pengelolaan aset eks Badan Penyehatan Perbankan adalah contoh perkara yang masih saja menjadi wilayah gelap.

Yang juga mengejutkan adalah perbedaan angka tentang sisa lebih pembiayaan anggaran atau silpa. Menurut audit BPK terdapat Rp79,95 triliun silpa tahun lalu. Tetapi menurut hitungan pemerintah, silpa 2008 cuma Rp51,3 triliun. Berarti terdapat selisih silpa Rp28,65 triliun. Ke manakah dan telah diapakan uang sebanyak itu?

Tentu, tidak semua temuan audit BPK adalah bukti kejahatan penggunaan keuangan negara. Namun, yang harus diperbaiki dari waktu ke waktu adalah akuntabilitas APBN. Itu disebabkan jumlah uang yang penggunaannya diragukan amatlah besar, lebih dari Rp600 triliun atau hampir separuh APBN 2008.

Korupsi biasanya terjadi dalam wilayah kegelapan tempat tidak semua orang boleh melihat dan tahu. Karena itu, tidak ada pilihan lain untuk memberantas korupsi kecuali membuka semuanya menjadi terang benderang.

Salah satu kunci akuntabilitas keuangan negara adalah sistem pencatatan, atau yang lebih dikenal dengan sistem akuntansi. Mengapa selama lima tahun berturut-turut tidak terjadi perbaikan memadai di bidang sistem akuntansi keuangan pemerintah? Apakah BPK, Departemen Keuangan, dan pemerintah daerah tidak bisa menyamakan sistem akuntansi mereka? Apakah BPK dan pemerintah haram duduk satu meja menyamakan sistem akuntansi?

Sebuah pemerintahan yang memerintah tidak saja memiliki legitimasi rakyat, tetapi juga legitimasi kompetensi. Kalau lima tahun berturut-turut masih saja disclaimer, berarti inilah pemerintahan yang legitimate secara politik, tetapi gagap kompetensi.

Memang, sistem pencatatan dan laporan keuangan Indonesia amatlah buruk selama masa pemerintahan Orde Baru. Itulah yang menyuburkan korupsi sampai sekarang.

Namun, adalah tidak tepat lagi argumen yang menyalahkan masa lalu terus-menerus. Sebuah pemerintahan yang memperoleh legitimasi rakyat dengan tahu dan mau, tentu, dengan tahu dan mau juga menerima tanggung jawab.

Dan tanggung jawab itu, kebetulan sekarang ini sedang dalam musim kampanye calon presiden, harus diminta dari mereka yang dengan tahu dan mau menjadi pemimpin. Yaitu bisakah mereka berjanji–apalagi incumbent–untuk tidak lagi memperoleh status disclaimer pada tahun pertama mereka memerintah?

Sistem pencatatan dan laporan keuangan pemerintah memang rumit. Tetapi sesungguhnya tidaklah sulit-sulit amat untuk mengatasinya. Yang membuat persoalan tetap dan semakin rumit lebih banyak disebabkan oleh ketidakmauan, bukan ketidakmampuan.

Jadi, cukuplah lima tahun berturut-turut memperoleh rapor disclaimer. Masak mau dilanjutkan sampai tahun keenam?

4 Komentar leave one →
  1. syukriy permalink*
    Juni 24, 2009 6:03 am

    BPK-RI adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD ’45, namun taringnya tidak berbisa jika diukur dari “kekuatan” efek opini yang diberikannya. Bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, tak ada bedanya opini disclaimer atau wajar tanpa pengecualian. Keduanya sama-sama tidak memberikan risiko atau punishment bagi para pejabat pusat dan daerah.

  2. Azrul permalink
    Juli 1, 2009 2:08 pm

    Pak Syukriy, apakah dapat disampaikan perbandingan kasus serupa di negara-negara lain?

  3. Juli 1, 2009 7:09 pm

    DPRnya kemana? sebagai stakeholder yang harusnya memiliki kepentingan atas hasil audit cuman diam saja. atau memang ada kompromi antara DPR dan Pemerintah untuk mengibuli rakyat yang notabene “realstakeholder”

  4. Juli 7, 2009 5:58 am

    @Azrul
    Untuk kasus di negara2 lain, di internet disediakan banyak file berupa paper atau buku. Misalnya di situs http://www.ifac.org, http://www.adb.org, http://www.imf.org, http://www.oecd.org, lgi.osi.hu, dan http://www.worldbank.org. File ini biasanya dapat didonlod gratis.

    Untuk buku2 yang diterbitkan LGI (http://lgi.osi.hu) bahkan bisa diminta untuk dikirim ke alamat kita, gratis. Hanya saya kasus dan konsepnya adalah yang selama ini dikembangkan untuk negara2 transisi, khususnya Eropa Timur, yang tengah beralih dari komunis-sosialis ke kapitalis-sosialis.

Tinggalkan komentar