Lanjut ke konten

Kendala Penerapan SAP oleh Pemerintah Daerah

Februari 26, 2009

Terbitnya PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan merupakan awal baru bagi pelaksanaan prinsip-prinsip keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Keuangan negara, yang pengelolaannya di pisah dua, yakni Pusat dan Daerah, diharapkan semakin baik pada masa yang akan datang- setidaknya dari segi regulasi dan petunjuk pelaksanaannya.

SAP disusun oleh sebuah komite independen yang disebut Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP). Proses berdirinya KSAP ini cukup unik, sehingga sampai saat ini independensinya masih menjadi bahan diskusi yang hangat (Bastian, 2006). Terkait dengan proses pembentukan ini, dalam situs KSAP (http://ksap.org/about.php) ditulis seperti berikut:

Sebelum UU tentang Keuangan Negara ditetapkan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang fiskal, Menteri Keuangan RI telah menetapkan Keputusan Menetri Keuangan No. 308/KMK.012/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Komite Standar Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah (KSAP), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 379/KMK.012/2004 tanggal 6 Agustus 2004.
Selanjutnya, guna memenuhi amanat UU No. 1 tahun 2004, telah diterbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 84 Tahun 2004 tentang Komite Standar Akuntansi Pemerintahan pada tanggal 5 Oktober 2004, yang telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005 tanggal 5 Januari 2005.

Yang menarik, pada bagian akhir ditulis seperti berikut:

Selanjutnya, sebagaimana UU No. 17 Tahun 2003 mengisyaratkan di dalam ketentuan peralihan bahwa penyusunan laporan keuangan didasarkan pada akuntansi berbasis akrual (accrual basis accounting) maka diperlukan suatu strategi dan rencana tindak KSAP. Dengan menerapkan strategi “cash towards accrual” diharapkan Pemerintah Pusat dan Daerah mampu menyajikan laporan keuangan berbasis akrual pada tahun 2008.

Dengan demikian, dengan baru dihasilkannya sebelas PSAP (Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan) berbasis cash towards accrual sampai saat ini, maka tugas KSAP masih cukup berat untuk sampai pada konsep dan penerapan full accrual. Barangkali masalahnya bukan di KSAP, yang anggotanya terdiri dari orang-orang dengan kompetensi yang tidak diragukan lagi, tetapi dari pengguna (users) SAP sendiri, khususnya Pemerintah Daerah.

Kendala-kendala di Daerah

Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah (Pemda) dalam penerapan SAP, di antaranaya:

  1. Kualitas SDM yang belum memadai. Persoalan ini sangat mendasar mengingat mekanisme perekrutan PNS yang masih terpusat, meskipun kewenangan untuk pelaksanaan program peningkatan kualitas SDM ada di daerah. Pemekaran daerah menjadi persoalan tersendiri ketika SDM yang terbatas kemudian harus “dibagi” lagi.
  2. Struktur organisasi. Sesuai PP No.41/2007, Pemda sudah harus menyusun struktur organisasi (SOTK) baru dimana ruang untuk akuntansi semakin terbuka. Namun, rendahnya kualitas dan kuantitas SDM akuntansi menjadi persoalan yang kian berat.
  3. Aspek regulasi. Inkonsistensi dalam penerbitan peraturan perundangan terkait akuntansi pemerintahan mengakibatkan Pemda “kehilangan selera” untuk melaksanakan akuntansi. Pemda merasa dijadikan objek penderita karena beberapa “petunjuk teknis” atau “pedoman pelaksanaan” tidak sejalan. Misalnya antara Permendagri No.13/2006 dengan PP No.24/2005. Belum lagi antara PP No.24/2005 dengan UU No.17/2003. Sebagai jalan tengah, Depdagri menerbitkan Surat Edaran (SE) yang di antaranya menjelaskan proses “konversi” dari Permendagri No.13/2006 ke PP No.24/2005.
  4. Aspek sosialisasi dan pendampingan. Sosialisasi oleh Depdagri, KSAP, BPK, dan pihak-pihak lain telah berjalan, namun dirasakan masih sangat kurang. Soal pendanaan merupakan masalah utama, disusul oleh lokasi yang jauh dari “keramaian”. Misalnya, sangat jarang “orang-orang Pusat” mau bersusah payah melakukan sosialisai ke Kabupaten Kepulauan Mentawai (Provinsi Sumatera Barat) atau Kabupaten Pegunungan Bintang (Provinsi Papua). Yang terjadi justru Daerah diundang ke Jakarta dan harus membayar kontribusi ke penyelenggara, termasuk Depdagri (kasus Permendagri 13/2006). Daerah akhirnya merasa dijadikan objek penderita…
  5. Ketiadaan sanksi. Apa sanksi kepada Pemda jika tidak melaksanakan SAP? Sampai saat ini belum ada. BPK selaku auditor justru tak jarang diminta oleh Pemda menjadi konsultan atau membantu menyusunkan LKPD. Sesuatu yang tentunya bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Bagaimana kalau opini BPK atas LKPD berupa “tidak wajar” atau “disclaimer“? Apakah kepala daerah yang selama 5 tahun masa jabatannya mendapat opini disclaimer boleh mencalonkan diri lagi?
  6. Kemauan. Karena peroalan-persoalan di atas, ditambah imej bahwa akuntansi akan menutup ruang untuk “memanfaatkan uang negara”, maka Pemda mencari pembenaran untuk menunda-nunda penerapan SAP. Pemda mencari justifikasi atau excuse untuk sekedar melaksanakan penatausahaan, misalnya dengan berpura-pura tidak tahu, berperilaku masa bodoh, dan menunjukkan power keotonomiannya.

Butuh waktu cukup panjang untuk “membumikan” SAP.

Silahkan didonlod slide presentasian Standar Akuntansi Pemerintahan dan Akuntansi Pemerintahan Daerah: Beberapa Persoalan Penting di sini atau di sini.

3 Komentar leave one →
  1. Mike permalink
    Maret 4, 2009 2:04 pm

    First blog I read after wakeup from sleep today!

    ________________________
    Proven! How to cure Acne Naturally.Email to mike.wilson80@ymail.com for more information.

  2. Maret 5, 2009 12:38 pm

    semoga cepat terlaksana

  3. September 28, 2011 2:37 pm

    saya ada pertanyaan pak, mohon penjelasan…

    untuk transaksi pengembalian belanja yang terjadi pada periode sebelumnya dicatat sebagai pendapatan lain2..
    tapi pada saat skpd saya mencatat pengembalian tersebut ternyata oleh ppkd disalahkan karena skpd saya adalah skpd yang tidak menganggarkan pendapatan lain2
    sehingga tidak boleh mencatat pengembalian tsb.. yang mencatat pengembalian tersebut adalah ppkd.

    sepengertian saya, pendapatan sesuai dengan pp 24 berbasis kas sehingga dicatat oleh kami dan nanti ppkd akan memunculkan pendapatan lain2 tersebut
    pada saat membuat neraca konsolidasian…

    bagaimanakah yang sebenarnya sesuai aturan pak? mohon penjelasan terima kasih sebelumnnya…

Tinggalkan komentar