Lanjut ke konten

Sistem Pemilu Ciptakan Banyak Caleg Bunuh Diri

April 17, 2009

Jakarta Press, Kamis, 16/04/2009
Oleh: Arief Turatno

SEHARI setelah dimulai perhitungan cepat (quick count) hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2009, seorang calon anggota legislatif (caleg) perempuan dari Partai Hanura, Buleleng, Bali dikabarkan meninggal dunia setelah mengetahui dirinya kalah dalam pengumpulan suara. Hari-hari berikutnya, setelah gambaran menang kalah semakin jelas, berbagai media kembali melaporkan ada caleg gantung diri, atau bunuh diri dengan cara lain, setelah mengetahui suaranya jeblok. Dan seterusnya, hampir setiap hari televisi membritakan peristiwa tragis yang kadangkala membuat bulu roma kita berdiri. Yakni tentang caleg yang akan bunuh diri dan mencoba bunuh diri atau telah bunuh diri dan meninggal dunia.

Tidak hanya caleg saja yang bunuh diri gara-gara kalah dalam persaingan merebutkan suara yang sangat kompetitif tersebut. Para pendukung mereka pun banyak yang meninggal sia-sia atau bunuh diri karena malu partai atau orang yang didukungnya gagal menjadi anggota Dewan. Ini belum terhitung yang stress, yang gila mendadak dan yang meninggalkan rumah tanpa kabar beritanya. Bahkan sanak keluarga juga tidak tahu, kemana perginya keluarga mereka yang gagal menjadi anggota Dewan tersebut.

Tangis haru biru juga terjadi disana-sini, sebab setelah Pemilu sekarang mereka menghadapi persoalan baru, yakni harus bayar hutang. Karena itu tidak heran pula, jika sejumlah caleg yang gagal menjadi anggota Dewan, mencoba menarik kembali uang yang telah dikeluarkannya, seperti kejadian di Tangerang dan lainnya. Lebih ironis lagi sumbangan rebana, karpet masjid dan mushola yang pernah mereka berikan pun coba ditariknya lagi. Sebagian barang-barang itu dijual dengan harga murah asalkan dapat uang. Karena uang tersebut akan dipakai para calon legislative untuk bayar hutang. Pertanyaan dan persoalannya adalah mengapa terjadi kondisi dan keadaan seperti itu? Dimana yang keliru dalam hal ini dan siapa yang harus disalahkan?

Sebelumnya pernah kita ungkapkan bahwa Pemilu sekarang disamping amburadul dalam pelaksanaannya. Juga sistem yang dipakai dapat menjebak orang menjadi stress dan ujung-ujungnya bunuh diri. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan tuntutan hanya suara terbanyak saja yang berhak duduk menjadi anggota dewan adalah penyebab utama persoalan ini. Karena semua calon legislative dituntut untuk berkompetisi disamping dalam waktu yang lama. Juga sampai dengan detik-detik terakhir penyontrengan. Kompetisi yang lama tersebut tidak hanya menyedot anggaran yang besar, juga menguras tenaga dan pikiran.

Di sisi lain, aturan perundangan menyebutkan tentang adanya kuota 30 persen perempuan. Padahal kita tahu, bahwa dalam kompetisi yang demikian ketat, disamping mamakan waktu dan tenaga, juga dibutuhkan mental serta saraf sekuat baja. Pertanyaannya apakah hal ini sudah dipikirkan sebelumnya oleh para pembuat peraturan dan kebijakan tentang bahayanya sistem dan tata cara Pemilu model sekarng ini? Mengapa hal ini kita pertanyakan, karena ada beberapa hal yang aneh dan pantas kita renungkan bersama.

Jika sebelumnya masalah ini dipikir matang-matang, pasti kejadian yang menyedihkan seperti yang kita saksikan bersama melalui tayangan media elektronik, tentulah tidak akan terjadi, misalnya bunuh diri, stress dan sebagainya. Mengapa? Karena para pimpinan partai dan juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta para pembuat undang-undang, tentu tidak akan memaksakan agar kuota 30 persen perempuan terpeunhi.

Hal ini mengingat dari sekian banyak kasus bunuh diri dan stress karena gagal menjadi calon legislative terbesar adalah kaum perempuan. Juga tentu tidak akan memaksakan orang berkompetisi dalam waktu yang cukup lama karena kita tahu ketahanan orang itu tidak sama satu dengan lainnya. Apalagi antara perempuan dan laki-laki. Karena semua masalah ini sepertinya terabaikan, sehingga asumsi kita, undang-undang dan tatacara aturan pelaksana Pemilu sekarang dibuat asal-asalan atau asal jadi dan memenuhi target. Apakah ini bukan perbuatan gila namanya?

Sebab disamping telah terjadi pengekploitasian daya tahan manusia sedemikian rupa, termasuk harta benda. Juga secara tidak langsung telah menyita kebebasan hak azasi seseorang. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, ternyata undang-undang dan tata aturan Pemilu di jaman Orde Baru atau pun di awal reformasi jauh lebih bagus. Jauh lebih manusiawi dan jauh lebih efisien. Mengapa? Coba kita simak paraturan di masa lalu, dengan partai diberi otoritas untuk menentukan siapa kadernya yang pantas menjadi anggota Dewan. Yakni dengan penerapan nomor urut, partai sejatinya telah melakukan seleksi yang jauh lebih hemat waktu, tenaga dan tidak banyak menguras pikiran. Dan kalau terjadi persoalan, cukup diselesaikan secara internal partai, tidak perlu melebar yang tidak hanya akan mengganggu roda organisasi bersangkutan. Juga dapat mengganggu pihak lain yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan persoalan tersebut.

Dengan membandingkan antara aturan dulu dan sekarang, kita berkesimpulan bahwa yang harus disalahkan pertama kali dari kasus-kasus yang terjadi di sekitar Pemilu Legislatif ini adalah yang pertama, pembuat undang-undang. Dalam hal ini pemerintah dan DPR atau Dewan. Kedua para pelaksana di lapangan, KPU dan para pengurus atau pimpinan partai. Yang ketiga, adalah pihak-pihak yang menyatakan reformis, tetapi justeru tidak tahu arah kemana jalan reformasi yang benar tersebut. Mereka dipersalahkan, misalnya karena memaksakan kehendak agar kuota 30 persen perempuan diterapkan, dan suara terbanyak yang harus jadi anutan untuk menentukan seorang caleg dapat tidaknya menjadi anggota Dewan. Merekalah yang harus bertanggungjawab dunia akhirat terhadap persoalan bangsa dan kasus-kasus yang berkait dengan Pemilu. Pertanyaannya, mungkinkah? (*)

3 Komentar leave one →
  1. April 23, 2009 5:56 pm

    Terlalu banyak partai yang berlaga dan terlalu banyak caleg yang tersilaukan harta di pemerintahan.

    Setuju, sistemnya perlu dibenahi

  2. April 25, 2009 4:04 pm

    @Ekaria
    Terima kasih atas kunjungannya, mbak Eka.
    Negara kita masih dalam proses belajar berdemokrasi, masih butuh waktu untuk menemukan format yang sesuai. Dengan jumlah penduduk begitu besar, bentangan wilayah yang begitu luas, dan keragaman budaya yang luar biasa, menyebabkan pencarian model yang pas lebih rumit dan butuh enerji lebih besar.

    Orang jadi stress hanyalah salah satu ekses. Mungkin masih banyak ekses lain yang tidak terungkap, seperti pertengkaran suami-istri, perceraian, pemiskinan, dan juga pembodohan di tengah-tengah masyarakat kita. Politik memang aneh, ya mbak?

  3. Oktober 21, 2012 7:40 am

    Sistem Pemilu-nya perlu diganti. Mungkin sistem pemilu alternatif di alamat ini: http://www.youtube.com/watch?v=aRKR0rlGosc bisa menjadi salah satu pilihan jalan keluar, agar pemimipin yang dihasilkan menjadi lebih baik.

Tinggalkan komentar