Lanjut ke konten

Apakah Pemda “Wajib” Melaksanakan Permendagri 13/2006?

Oktober 16, 2010

Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini mungkin sedikit aneh dan provokatif. Atau mungkin juga dianggap bukan pada tempatnya untuk ditulis di blog yang dibaca oleh banyak teman-teman dari Pemda dan mahasiswa. Namun, karena pertanyaan tersebut sangat mengganggu saya, maka saya ingin menuliskannya di sini, meskipun akan mendapat kritik dan tanggapan yang nadanya berbeda dari para pembaca. Semoga bisa menjadi bahan diskusi yang hangat. Amin.

1. Latar Belakang

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pertanyaan yang menjadi judul tulisan di atas. Pertama, dalam pasal 7 UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan mencakup:

  • Undang-Undang Dasar 1945,
  • Undang-Undang (UU),
  • Peraturan Penggantu Undang-Undang (Perpu),
  • Peraturan Pemerintah (PP),
  • Peraturan Presiden (Perpres), dan
  • Peraturan Daerah (Perda)

Sementara pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan peraturan perunang-undangan Republik Indonesia adalah

  1. Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
  3. Undang-undang;
  4. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang (Perpu);
  5. Peraturan Pemerintah;
  6. Keputusan Presiden;
  7. Peraturan Daerah.

Dari hirarki di atas terlihat bahwa Perda berada di bawah Perpres dan PP, namun tidak disebutkan bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) dan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu atau PMK) merupakan bagian dari hirarki tersebut. Artinya, Permendagri dan Permenkeu (PMK) bukanlah bagian dari peraturan perundang-undangan dan bukan pula berkedudukan lebih tinggi dari Perda. Dengan demikian, apakah Pemda berkewajiban untuk melaksanakan kedua peraturan menteri tersebut?

Kedua, dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) sering disebutkan oleh auditor bahwa aparatur daerah dan SKPD melakukan pelanggaran terhadap Permendagri 13 untuk kegiatan dan belanja tertentu, baik dalam penatausahaan maupun dalam pelaporan keuangannya. Jika Permendagri 13 bukanlah bagian dari peraturan perundang-undangan, mengapa auditor BPK-RI menyatakan terjadi pelanggaran? Yang lebih menarik (lebih tepatnya menimbulkan pertanyaan “aneh”) lagi adalah auditor BPK sering membawa-bawa surat edaran (SE) Mendagri atau Menkeu dan menyatakan Pemda melanggar SE tersebut. Mengapa auditor BPK-RI menyataka demikian?

Ketiga, kepala SKPD dan aparatur daerah yang ada di sebuah SKPD bukanlah anak buah Mendagri. Kepala dinas bukan diangkat dan diberhentikan oleh Mendagri, begitu pula PNS di SKPD, tidak diangkat dan dipecat oleh Mendagri. Jika faktanya seperti itu, mengapa harus taat dan patuh pada peraturan yang dikeluarkan Mendagri? Apakah kalau SKPD tidak mematuhi Permendagri, maka Mendagri akan meminta kepala daerah memecat kepala SKPD dan PNS di SKPD? Apakah Permendagri 13/2006 dimaksudkan sebagai “pedoman pelaksanaan” pengelolaan keuangan Pemda atau hanya sekedar acuan atu contoh bagi Pemda dalam membuat peraturan pelaksanaan Perda pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah?

2. Implementasi Permendagri 13/2006 dan Permasalahannya

Sebagian Pemda mengimplementasikan Permendagri 13/2006 “apa adanya”. Yang dimaksud dengan “apa adanya” adalah setiap SKPD mengunakan Permendagri 13/2006 dalam penyusunan rencana kerja (Renja), RKA-SKPD, penatausahaan, dan akuntansi untuk penyusunan laporan keuangan SKPD. Dengan demikian, setiap SKPD setidaknya memiliki satu eksemplar buku Permendagri 13/2006 yang menjadi acuan sekaligus pedoman dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah (baca: APBD) di SKPD bersangkutan.

Meskipun demikian, pada kenyataannya kebanyakan aparatur daerah di SKPD tidak memahami substansi Permendagri 13/2006 tersebut, kecuali menyimpulkan bahwa jika Permendagri 13/2006 tidak dipatuhi maka akan menjadi persoalan besar ketika diaudit oleh BPK RI. Kesulitan aparatur SKPD dalam memahami substansi Permendagri 13/2006 dapat dimaklumi karena:

  • Konsep-konsep dalam Permendagri 13/2006 masih baru, seperti maksud dari kata “kinerja” (bagaimana pengertian, pengukuran, penganggaran, dan pertanggungjawabannya?), unified budgeting, kerangka pengeluaran jangka menengah, belanja langsung vs belanja tidak langsung, posisi bendahara (sebelumnya pemegang kas) terhadap kepala SKPD (pengguna anggaran sekaligus pengguna barang), SPM yang diterbitkan oleh pengguna anggaran), pertanggungjawaban anggaran berupa laporan keuangan (sementara di SKPD tidak ada yang tahu apa itu akuntansi), dan lain-lain.
  • Kurangnya sosialisasi langsung ke SKPD, baik oleh Pemda sendiri (biasanya dilaksanakan oleh SKPKD/Dinas Pengelola Keuangan/BUD) maupun oleh Pemerintah (Departemen Dalam Negeri). Di Pemda sendiri ada ego sektoral dimana bagi sebagian oknum di SKPKD, semakin bodoh atau tidak paham pejabat/staf yang ada di SKPD justru lebih baik karena bisa dimanfaatkan untuk tujuan tertentu bagi pemenuhan kepentingan oknum bersangkutan (biasanya untuk mendapatkan keuntungan finansial).
  • Oportunisme oknum dari ekternal Pemda, seperti oknum BPKP yang menjadi konsultan pendamping, namun tidak melakukan transfer of knowledge kepada aparatur daerah. Software gratis yang diberikan ternyata harus dilampiri dengan “biaya pemeliharaan” yang besar karena harus mendatangkan oknum bersangkutan setiap ada masalah yang terkadang sangat operasional/teknis, bukan masalah gangguan pada software. Selain itu, ada konsultan swasta yang turut bermain dengan cara berkolusi dengan aparat Pemda untuk merealisasikan anggaran untuk pengadaan software, pembuatan modul, atau sistem-prosedur keuangan daerah untuk sekedar “sekali pakai”. Dengan begitu, pada setiap tahun selalu ada anggaran untuk hal yang mestinya hanya dilakukan sekali, kecuali terjadi perubahan peraturan perundangan seperti Peraturan Pemerintah atau Perda.

3. Perdebatan tentang Permendagri 13/2006: Amanat PP No.58/2005?

Dalam logika otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, Pemda diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kepala daerah didapuk sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah atau PKPKD (lihat pasal 5 PP 58/2005). Sebagai pemegang kekuasaan dan selaku kepala pemerintah daerah, kepala daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan membuat peraturan kepala daerah sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Namun, pemahaman tersebut menjadi sulit dipegang karena adanya bunyi pasal 155 (Bab XVIII Penutup): “Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan Menteri Dalam Negeri“. Apakah pasal 155 memberi makna tegas bahwa Permendagri 13/2006 setara atau sama kuatnya dengan PP 58/2005?

Untuk memahami posisi pasal 155 tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu substansi Bab XV PP No.58/2005, yang oleh Pemerintah diberi judul: Pengaturan Pengelolaan Keuangan. Pasal 151 pada bab ini berbunyi:

Ayat (1): Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2): Berdasarkan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah.

Maksud yang terkandung pada ayat 1 pasal 151 adalah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dipayungi secara hukum oleh sebuah Perda tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah, yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi (yakni Peraturan Pemerintah). Sepanjang sudah sesuai dengan PP 58/2005 atau PP lain yang berkaitan dengan keuangan daerah, maka Permendagri 13/2006 bukanlah acuan, apalagi pedoman, dalam penyusunan Perda tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah.

Sedangkan maksud yang tersirat pada ayat 2 pasal 151 tersebut adalah bahwa kepala daerah dapat membuat (beberapa) peraturan kepala daerah sebagai petunjuk teknis atau pedoman pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Apabila Pemda ingin mengimplementasikan (mentah-mentah) Permendagri 13/2006 sebagai pedoman dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk dalam hal sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah, maka terlebih dahulu seluruh istilah Menteri Dalam Negeri diganti dengan Gubernur/Bupati/Walikota. Artinya, secara teknis tinggal lakukan select all, replace, dst… untuk file Word dokumen Permendagri 13/2006.

Setelah judul Permendagri 13/2006 diganti menjadi Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota dengan penyesuaian istilah dalam isinya, maka yang dilaksanakan oleh SKPD adalah peraturan yang dikeluarkan oleh kepala daerah, bukan Menteri Dalam Negeri. Oleh karena juragan atau bos seorang kepala SKPD (selaku pengguna anggaran dan pengguna barang) adalah kepala daerah (yang mengangkat dan memberhentikan mereka), maka peraturan kepala daerah lah yang wajib dipatuhinya, bukan peraturan Menteri Dalam Negeri (karena Mendagri tidak punya hubungan apa-apa dengan kepala SKPD).

Perubahan nama peraturan ini, meskipun isinya sama persis, menunjukkan hirarki peraturan perundang-perundangan tidak dilanggar, prinsip otonomi daerah tetap dipatuhi (tidak dikangkangi oleh Pemerintah sendiri melalui “pemaksaan” oleh auditor BPK-RI), dan semua SKPD memiliki pemahaman yang relatif sama terkait dengan peraturan perundang-undangan yang harus mereka pahami.

16 Komentar leave one →
  1. samsulramli permalink
    Oktober 16, 2010 6:57 pm

    Setuju banget Pak Syukriy tulisan seperti ini harus dipublikasikan sebagi bahan pencerahan bagi kita semua..

    Saya setuju bahwa Permendagri, Permenkeu, SE Menteri bukan termasuk ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan.. namun menurut saya apabila peraturan selain yang ada didalam hirarki tersebut dapat saja menjadi acuan bagi daerah apabila merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) yang tercantum secara jelas. misalkan ada PP atau Perpres menyebutkan bahwa ketentuan selanjutnya akan diatur melalui Peraturan Menteri…

    Soal pemeriksaan dari aparat pemeriksa yang menyatakan tidak diacunya Permen atau SE Menteri oleh daerah adalah kesalahan atau melanggar peraturan sering kali terjadi, hal ini saya pikir apabila daerah berani berargumen…

    Menurut saya Permen atau SE Menteri adalah contoh buat daerah agar membuat peraturan serupa ditingkat daerah terkait teladan atau contoh yang boleh atau ‘baik’ untuk diikuti.. misal: Permekeu soal SBU tidak dapat dijadikan pedoaman hukum untuk diaksanakan didaerah, namun bisa sebagai contoh penyusunan peraturan tentang SBU di daerah..

    Mohon koreksinya Pak Syukriy.. salam hormat..

  2. Paul Prasetya permalink
    Oktober 16, 2010 7:18 pm

    Wow Pak Syukriy…. pertanyaan ini sangat menggoda… Saya coba berbagi pengalaman tentang pertanyaaan ini.

    Selama ini yang kami pahami adalah bahwa Permendagri Nomor 13/2006 merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Karena Permendagri Nomor 13/Tahun 2006 adalah penjabaran pelaksanaan teknis yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58/2005 dan mempunyai kedudukan mengikat, maka Pemerintah Daerah berkewajiban melaksanakannya. Jika tidak dilaksanakan maka Kepala Daerah/Kepala SKPD melanggar peraturan perundang-undangan.

    Yang terjadi selanjutnya…. Dalam konsiderans mengingat pada semua Perda yang dibentuk oleh Kabupaten/Kota, selalu dicantumkan juga Permendagri dan Permenkeu sebagai dasar hukum penyusunan Perda-Perda tersebut. Dan setelah di asistensi di Bagian Hukum Setda Kabupaten/Kota dan Biro Hukum Setda Provinsi, bahkan sampai dilaporkan ke Kementrian Dalam Negeri tidak pernah ada koreksi terhadap pencantuman Permendagri dan Permenkeu sebagai bagian dari dasar hukum Perda-Perda tersebut, walau keduanya tidak masuk dalam hirarki peraturan perundangan-undangan sesuai pasal 7 UU No.10/2004. Artinya sebagai aturan pelaksanaan teknis dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, keduanya harus tetap menjadi acuan teknis pelaksanaan oleh Pemerintah Daerah. Nah….. inilah yang terjadi selama ini.

  3. Zulfikar Ahmad permalink
    Oktober 16, 2010 9:00 pm

    Menarik sekali tulisan Pak Syukri

    Saya lebih cenbdrung pada analisa pak Syukri di banding ‘sebagian’ pendapat pak Samsul Ramli.

    Saya kira Perda tidak perlu tunduk pada Permen atau peraturan lainnya diluar hirarki UU 10/2004, jelas Permen tidak masuk dalam hirarki tersebut.

    Namun masalahnya dalam melakukan penyusunan Perda, Permen dan peraturan lain yg tidak dalam hirarki pasal 7 itu dicantumkan sebagai ‘MENGINGAT’ sehingga Perda tersebut harus mengacu ke produk hukum yg tidak berada dalam hirarki diatasnya.

    Saya kira hal ini perlu di bicarakan dalam forum yg lebih luas, agar Bag./Biro Hukum, tidak perlu mencantumkan produk hukum yg tidak berada diatas hirarki Perda

  4. Ridzky permalink
    Oktober 17, 2010 12:36 pm

    Pak Syukriy yang saya kagumi…
    Permendagri 13 tahun 2006 dilahirkan sebagai perintah pasal 155 PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang bunyi lengkap sebagai berikut :
    “Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan Menteri Dalam Negeri”.
    Jadi dalam kaidah ilmu hukum, permendagri 13/2006 merupakan turunan PP 58/2005 (sebagai salah satu instrumen hukum sesuai UU 10/2004) tetap mengikat secara hukum dan menjadi acuan yuridis formal bagi pemda dalam pengelolaan keuangan daerah.

    Mohon wejangannya… salam hormat dari murid imajinermu

  5. samsulramli permalink
    Oktober 17, 2010 1:43 pm

    Tadinya saya mau menjawab komentar Mas Zulfikar Ahmad tentang ‘sebagian’ pendapat pak Samsul Ramli. Tapi ternyata sudah dijawab oleh Pak Ridzky dan Paul Prasetya bahwa ada Permen yang dapat menjadi peraturan hukum dan ada yang tidak.. contohnya seperti yang dijelaskan Pa Ridzky bahwa permendagri 13/2006 merupakan turunan PP 58/2005 (sebagai salah satu instrumen hukum sesuai UU 10/2004) untuk itulah kemudian didalam konsiderans Perda tentang Penatausahaan Keuda… jadi bukan masalah Perda tidak boleh tunduk kepada Permen tapi Karena Perda harus tunduk kepada PP 58/2005 yang mengamanatkan permendagri 13/2006 maka jadilah permendagri 13/2006 sebagai salah satu acuan hukum Perda…

    Beda dengan Permenkeu tentang SBU yang diterbitkan setiap tahun yang bukan merupakan amanat PP 58/2005 atau PP lainnya maka Permenkeu ini tidak dapat dijadikan acuan hukum.. hal inilah yang sering terjadi.. amanatnya adalah bahwa dalam penyusunan Perda daerah juga harus jeli meletakkan konsideran mana yang berkekuatan hukum mana yang hanya berupa teladan atau contoh saja… Dalam posisi ini maka memang Perda lebih tinggi posisinya terhadap Permen, seperti yang dipahami Mas Zulfikar Ahmad..

  6. lukman permalink
    Oktober 18, 2010 12:00 pm

    kenapa harus ada permendagri no 13 tahun 2006, karena amanat pasal 155 (Bab XVIII Penutup): “Ketentuan lebih lanjut tentang pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan Menteri Dalam Negeri“. sedangkan pasal 151 Ayat (1): Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Ayat (2): Berdasarkan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah.
    kemudian yang seharusnya pemda laksanakan adalah amanat Perda, karena sesuai dengan pasal 7 UU no 10 tahun 2004.
    dan seharusnya yang menjadi kriteria dari Pemeriksa baik internal maupun eksternal (independen/BPK) adalah peraturan perundang-undangan yang ada dalam hirarki peraturan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 UU no 10 tahun 2010
    dan pertanyaan sesungguhnya adalah:
    KAPAN INDONESIA PUNYA ATURAN YANG TIDAK MEMBINGUNGKAN???????

  7. Eko Noeg permalink
    Oktober 20, 2010 10:39 am

    (sumber http://www.legalitas.org)
    Peraturan Menteri Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
    Fri, 24/08/2007 – 09:48 | Pengunjung

    Oleh: Mien Usihen

    A. Umum

    Dalam sistem hukum Indonesia, jenis dan tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dalam Pasal 7 menyebutkan:

    (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

    a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

    c. Peraturan Pemerintah;

    d. Peraturan Presiden;

    e. Peraturan Daerah.

    (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

    a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;

    b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

    c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

    (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

    (5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Jika Pasal 7 tersebut tersebut dibaca seakan-akan jenis peraturan perundang-undangan bersifat limitatif, hanya berjumlah 5 (lima) yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Hal ini berarti di luar dari kelima jenis tersebut sepertinya bukan dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.

    Namun demikian Pasal 7 ayat (4) dan dalam Penjelasanya disebutkan bahwa“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.

    Dari ketentuan Pasal 7 ayat (4) tersebut, jika ditafsirkan secara gramatikal, berdasarkan interpretasi dan logika hukum, serta memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 tidak bersifat limitatif hanya yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) saja. Bahkan jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”. Lembaga/pejabat negara yang berwenang dalam hal ini adalah lembaga/pejabat negara baik di Pusat dan Daerah. Setiap lembaga/pejabat negara tertentu dapat diberikan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan baik oleh Undang_undang Dasar maupun Undang-Undang. Kewenangan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga atau pejabat itu dapat berbentuk kewenangan atributif atau kewenangan delegatif/derivatif. Kewenangan atributif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah kewenangan asli (orisinil) yang diberikan oleh UUD atau UU kepada lembaga atau pejabat tertentu, sedangkan kewenangan delegatif/derivatif adalah kewenangan yang diberikan oleh pemegang kewenangan atributif kepada pejabat atau lembaga tertentu dibawahnya, untuk mengatur lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemegang kewenangan atributif.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak bersifat limitatif. Artinya, di samping 5 (lima) jenis peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1), terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang selama ini secara faktual ada dan itu tersirat dalam rumusan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

    Jenis peraturan perundang-undangan lain yang tidak ditempatkan pada Pasal 7 ayat (1) antara lain adalah :

    1. Peraturan Mahkamah Agung (walaupun bersifat pseudowetgeving);

    2. Keputusan Kepala BPK yang bersifat pengaturan (regeling);

    3. Peraturan Bank Indonesia;[1]

    4. Keputusan Kepala/Ketua LPND yang bersifat pengaturan (regeling);

    5. Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan (regeling) yang didasarkan pada kewenangan delegatif yang diberikan oleh Presiden, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.

    B. Peraturan Menteri

    Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah landasan formal dan yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di daerah, di dalamnya juga mengatur secara lengkap dan terpadu mengenai sistem, asas, jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan.

    Terkait dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yang sering menjadi pertanyaan adalah kedudukan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1). Jenis peraturan perundang-undangan lain termasuk Peraturan Menteri tersebut akan ditempatkan di mana, apakah kedudukannya di bawah Perda ataukah di atas Perda.

    Sebenarnya, kedudukan Peraturan Menteri bukan tidak diatur sama sekali dalam Undang-Undang. Dalam Pasal 7 ayat (4) ditegaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan, selain yang terdapat di dalam hierarki tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Menteri serta peraturan lain yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat negara lain, termasuk dalam kategori ini.

    Menurut pendapat pakar ilmu perundang-undangan, Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, “Keputusan Menteri itu harusnya di bawah Keputusan Presiden karena menteri bertanggung jawab langsung kepada Presiden.” Lebih lanjut menurut beliau, bahwa tidak dicantumkannya Peraturan Menteri atau jenis-jenis peraturan perundang-undangan lainnya di dalam hierarki, tidak dapat kemudian ditafsirkan kedudukannya berada di bawah Perda. Tetapi, ia menyadari pula bahwa penafsiran seperti itu bisa menjadi pegangan oleh banyak orang karena memang terdapat ketidakjelasan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Ketidakjelasan ini, menurut Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, bisa menghambat upaya untuk mewujudkan tatanan hukum dan peraturan perundang-undangan yang tertib di masa yang akan datang.

    Ada dua alasan mengapa Peraturan Menteri disebutkan letaknya berada di antara Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Pertama, jika Peraturan Menteri ditempatkan di bawah Peraturan Daerah akan bertentangan dengan asas hierarki. Yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, akan bertentangan dengan wilayah berlakunya peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan tingkat Pusat yang berlaku secara nasional di seluruh wilayah Republik Indonesia tentunya mempunyai kedudukan yang lebih lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang lingkup berlakunya hanya bersifat lokal.

    Setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Dalam membentuk Peraturan Menteri perlu diperhatikan landasan yuridis yang jelas. Peraturan Menteri yang dibentuk harus dapat menunjukkan dasar hukum yang dijadikan landasan pembentukannya. Makna tata urutan peraturan perundang-undangan terkait dengan dasar yuridis pembentukan Peraturan Menteri dalam arti bahwa hanya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang sederajat dapat dijadikan landasan atau dasar yuridisnya. Dengan demikian, Peraturan Daerah tidak dapat dijadikan dasar pembentukan Peraturan Menteri.

    1. Keberadaan Peraturan Menteri

    Peraturan menteri sebagai salah satu instrumen hukum masih diperlukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Keberadaan Peraturan Menteri diperlukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya yang secara tegas memerintahkan atau mendelegasikan. Namun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa menteri dapat membuat peraturan walaupun pendelegasian tersebut tidak secara tegas atau tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, menteri dapat menetapkan peraturan yang tidak merupakan delegasi peraturan perundang-undangan yang di atasnya. Peraturan menteri ini biasa disebut peraturan menteri mandiri, termasuk dalam peraturan kebijakan, bersumber dari kewenangan diskresi (freies Emerssen).

    Kemandirian menteri untuk mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, bukan atas dasar pemberian kewenangan mengatur (delegasi) dari peraturan di atasnya, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan selama ini diperbolehkan. Tindakan menteri untuk mengeluarkan peraturan tersebut didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan yang diinginkan guna mempermudah pelaksanaan administrasi atau kepentingan prosedural lainnya.

    Jika menteri ingin menuangkan kebijakan dalam suatu Peraturan Menteri, maka yang perlu diperhatikan adalah prinsip pemberian delegasian pengaturan dari peraturan perundang-undangan di atasnya. Yang harus diperhatikan adalah lingkup pengaturan yang diperintahkah agar pengaturannya tidak melebar melampaui kewenangan yang diberikan.

    Dalam pembentukan Peraturan Menteri, berlaku prinsip bahwa peraturan yang sederajat atau lebih tinggi dapat menghapuskan atau mencabut peraturan yang sederajat atau yang lebih rendah. Dalam hal peraturan yang sederajat bertentangan dengan peraturan sederajat lainnya (dalam arti sejenis), maka berlaku peraturan yang terbaru dan peraturan yang lama dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat priori). Dalam hal peraturan yang lebih tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Jika peraturan yang mengatur hal yang merupakan kekhususan dari hal yang umum (dalam arti sejenis) yang diatur oleh peraturan yang sederajat, maka berlaku peraturan yang mengatur hal khusus tersebut (lex specialis derogat lex generalis). Pembentuk peraturan perlu bersepakat bahwa lex posterior derogat priori dan lex specialis derogat lex generalis didasarkan pada hal yang sejenis, dalam arti bahwa bidang hukum yang mengatur sumber daya alam, misalnya, tidak boleh mengesampingkan bidang hukum perpajakan. Yang dapat mengesampingkan bidang hukum perpajakan tersebut adalah bidang hukum perpajakan lainnya yang ditentukan kemudian dalam peraturan.

    2. Implementasi Peraturan Menteri

    Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah “asas dapat dilaksanakan”, yaitu setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

    Implementasi Peraturan Menteri terkait dengan kesiapan departemen secara nyata untuk melaksanakan Peraturan Menteri yang dibentuk. Pembentukan Peraturan Menteri jangan hanya didasarkan pada keinginan untuk melakukan tertib administrasi dan prosedural serta tertib lainnya yang sesungguhnya tidak perlu, tetapi juga bagaimana Peraturan Menteri tersebut dilaksanakan dan sekaligus ditegakkan.

    Pada saat Menteri mempunyai keinginan untuk mengatur sesuatu ke dalam Peraturan Menteri, maka hal pokok yang diperhatikan adalah sumber daya manusia (aparatur) dan sumber dana yang diperlukan untuk melaksanakan Peraturan Menteri tersebut. Dalam hal SDM dan sumber dana belum tersedia, maka pembentukan Peraturan Menteri ditunda dulu atau jika Rancangan Peraturan Menteri telah dipersiapkan, maka pembahasannya yang ditunda. Kebutuhan pengaturan tidak dapat ditunda dalam hal pengaturan tersebut memang secara nyata diperintahkan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

  8. yuntri tura ebsyar permalink
    Oktober 21, 2010 11:28 am

    Yth Pak Syukriy
    Apa benar SOTK dapat ditetapkan denga Perkada dalam keadaan darurat,dan apa dasar hukumnya.
    Saya mengharapkan jawaban dari Bapak, terimakasih banyak sebelumnya.
    Salam hangat

    dr.yuntri tura ebsayr-Batusangkar

  9. yuntri tura ebsyar permalink
    Oktober 21, 2010 11:32 am

    Mohon maaf Pak pertanyaan saya berbeda dengan topik, pertanyaan ini teringat pada saat saya membaca tulisan diatas,daripada lupa nantinya maka saya tanyakan di rubrik ini.
    Mohon maaf sekali lagi.
    Salam.

  10. Pelajar permalink
    Oktober 22, 2010 9:58 pm

    Terima Kasih Pak Syukriy…

    Saya sebagai auditor pemula, yang dikatakan ‘memaksa’ Pemda untuk menggunakan Permendagri, hanya bisa melihat dan mengambil pelajaran dari diskusi bapak-bapak sekalian…

    Merupakan pencerahan yang baik dan cukup membuka wawasan kita. Namun akan sangat disayangkan, bila hal-hal semacam ini justru dijadikan pembenaran atas ‘pelanggaran’ terhadap Azas Umum Pengelolaan keuangan daerah dengan alasan Permendagri 13 tidak wajib.

    Anggaplah terkait dengan Bansos, apakah PP 58 telah mengatur serinci Permendagri 13?
    Secara legalitas hukum, mungkin benar opini yang kita tuliskan, tetapi hendaklah kita juga bijak dalam memberikan solusi.
    Uang daerah, bukan semata uang pemerintah daerah, tapi uang rakyat yang ada didaerah tersebut…

    Mohon dimaafkan apabila tulisan saya kurang berkenan…

  11. Achmadi permalink
    November 1, 2010 3:24 pm

    Sepakat dengan Pak Ridzky dan Pak Paul, bahwa permendagri 13 merupakan satu kesatuan dengan PP 58 karena disana dinyatakan bahwa akan ada ketentuan lebih lanjut untuk mengatur ini.

    Perlu diingat bahwa yang diatur dalam permendagri 13 lebih berupa PEDOMAN, walaupun ada yang sangat detail, untuk pengelolaan keuangan daerah. KETENTUAN YANG LEBIH DETIL tetap perlu dilakukan oleh pemerintah daerah mengacu pada PP 58 ps 151 diatas.

    Saya contohkan yang masih sangat global, belum detil: dalam PEDOMAN dinyatakan pada pasal 5 ayat 2b: KEPALA DAERAH menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah. (Kepala daerah diatas didapat dengan membaca pasal yang sama pada ayat 1). Pertanyaannya sekarang 1) Bolehkan SEKRETARIS DAERAH yang menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah? Bahkan apabila kepala daerah telah mendelegasikan hal ini pada sekretaris daerah? ATAU Kepala pengelola barang daerah (kalau ada jabatan ini) yang membuat kebijakan tentang pengelolaan barang daerah

    Berdasar PEDOMAN ini, TIDAK BOLEH. Hal seperti inilah yang diatur dalam pedoman jadi jangan ada variasi dalam penanggungjawabnya, karena dianggap penting, sehingga hanya dilakukan oleh kepala daerah. Kemudian bagaimana sistem dan perosedur pengelolaannya? PEMERINTAH DAERAH membuat sendiri sistem dan prosedurnya.

    Terima kasih, mungkin bisa memberi nuansa baru tentang bagaimana memandang peraturan menteri no 13 ini

  12. aprilia permalink
    November 4, 2010 2:30 pm

    Terimakasih pencerahannya pak..

    Memang kenyataan sekarang ini bagian akhir dari tulisan bapak yang banyak dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan dengan membuat Perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah dan Perkada tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah mengacu bahkan sama persis (copy paste) dengan permendagri 13 tahun 2006a sehingga ketika ada pemeriksaaan tidak ada aturan-aturan yang dilanggar.

  13. wati permalink
    November 5, 2010 3:06 pm

    Seandainya saja raperda tentang Pertanggungjawaban APBD tidak memerlukan persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri untuk dapat diterbitkan menjadi Perda APBD, maka Pemda tidak perlu taklik buta pada Permendagri (terlepas dari persoalan hierarki kekuatan hukum di antara berbagai peraturan perundangan yang sudah disebutkan oleh Pak Syukri).. Persetujuan yang akan diberikan oleh Kemendagri tentu akan mengacu pada Pertanggungjawaban APBD yang disusun sesuai dengan Permendagri sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka daerah harus mengacu bahkan menyalin Permendagri 13 sebagai Perda/Perkadanya. Khusus tentang pertanggungjawaban APBD jelas-jelas telah dikeluarkan PP 24 tahun 2005 yang memiliki kekuatan mengatur lebih tinggi dari Permen, tetapi tidak diakomodasi secara menyeluruh dalam Permendagri sehingga daerah pun harus repot melakukan konversi (misalnya tentang klasifikasi pendapatan/belanja yang berbeda antara yang diatur oleh PP 24 tahun 2005 dengan Permendagri). Dengan demikian sebaiknya penyusun peraturan apa pun sebaiknya mengacu kepada ketentuan peraturan yang lebih tinggi jangan asal buat yang pada akhirnya bikin daerah jadi rephoooottt….. Persoalan yang tidak perlu ada bila pihak-pihak yang berwenang membuat ketentuan perundangan bersedia duduk bersama untuk berkoordinasi guna menghasilkan produk peraturan yang tidak bertentangan.

  14. agustinus permalink
    Desember 27, 2010 8:25 pm

    Ada yang benar karena aturan, ada yang benar karena dipahami sebagai kebenaran bagi yang melakukannya. Korupsi pasti salah tapi koruptor tidak akan pernah mengakui itu salah. Kepmendagri 13/2006 hanya pedoman, pemda harus menyusun perda sebagai pokok2 pengelolaan keuangan daerah, tapi karena perda yang disusun juga banyak yang dicopy paste dari Permendagri 13/2006, jadilah aturan itu sebagai acuan utama bagi BPK untuk memeriksa. Lagi kalau tidak mengacu permendagri, pakai acuan apa lagi bila Pemda tak punya Perda. PP58/2005 juga kan mengatur akan adanya acuan Permnedagri. Sambil memperbaiki keadaan di daerah, baiknya pakai saja dulu.

  15. Juni 2, 2012 12:36 pm

    Penyusunan laporan keuangan format Permendagri adalah untuk konsolidasi penyusunan APBD atau APBN.

    Penyusunan laporan keuangan format SAP untuk pertanggungjawaban. Dalam hal ini untuk memperoleh opini kewajaran dari BPK dalam penyusunan Laporan Keuangan.

    Kedua-duanya harus disusun oleh SKPD. Permendagri untuk keperluan APBD/APBN, SAP untuk akuntabilitas.

    Jadi, jika ada pemeriksa dari BPK menyatakan harus disusun berdasarkan Permendagri maka harus ditindak.
    BPK hanya berwenang memeriksa Lapkeu berdasarkan format SAP untuk memberikan opini. Permeriksaan atas format Permendagri itu wewenang BPKP selaku auditor internal.

  16. dinar utami permalink
    Oktober 23, 2016 4:12 pm

    tulisan bapak keren banget

Tinggalkan komentar