Lanjut ke konten

Kejayaan Aceh dan Politisasi Syariat Islam

September 24, 2009

Marsen Ng (Aceh Institute, 19 September 2009)

FORMALISASI syariat (hukum) Islam sebenarnya gerakan lama dan tidak pernah mati di Indonesia. Pengesahan Qanun hukum Jinayah oleh DPR Aceh pada tanggal 15 September 2009 bisa dipahami pro-kontra. Kita ingat perdebatan alot di sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 yang akhirnya tidak memasukkan 7 kata tambahan ke dalam Mukadimah konstitusi. Wakil-wakil umat Islam menginginkan ada tambahan “(Ketuhanan) dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Dorongan  ke arah negara dan syariat Islam menguat lagi menjelang pemilu pertama tahun 1955. Partai-partai Islam mengusung lagi ide ini. Tetapi gerakan ini kandas lagi di Majelis konstituante karena partai-partai Islam hanya memperoleh sekitar 45% suara. Suara mereka tidak memenuhi syarat quorum untuk mengubah UUD (Undang-Undang Dasar) 1945.

Untuk konteks Aceh, kita ingat pada 20 September 1953, Tgk. Daud Beureueh memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) Aceh karena konflik dan kekecewaan terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh Pemerintah Pusat menyangkut Aceh. Waktu itu Tgk. Daud Beureueh memilih bergabung dengan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwiryo yang sudah lebih dulu memproklamirkan NII di Jawa Barat.

Tulisan ini ingin membahas fenomena pengesahan Qanun hukum Jinayah dari perspektif kejayaan Aceh masa lalu dan formalisasi syariat islam sebagai aksi politik (politisasi) elit. Sekurang-kurangnya ada dua (2) hal yang ingin disampaikan. Pertama, nilai-nilai dan syariat Islam sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari kejayaan Aceh masa lalu. Islam sudah sejak lama menjadi “cara hidup dan nilai yang dihayati” (a way of life, a living value) yang digerakkan oleh para ulama yang sangat penting posisinya dalam masyarakat.

Kedua, upaya formalisasi syariat Islam di Aceh lebih merupakan aksi politik sejumlah elit lokal yang mendapat dukungan dari pemerintah pusat sebagai “konsesi” untuk tetap mempertahankan Aceh sebagai bagian dari NKRI. Gerakan ini menganggap bahwa syariat Islam adalah inti tuntutan masyarakat Aceh. Anggapan ini terbukti keliru.

Islam dan Aceh : Dua sisi mata uang

Teungku Chik Kutakarang menulis dalam kitabnya Tadhkirat Al-Rakidin (1889), “Adat ban adat hukom ban hukom, adat ngon hukom sama keumba; tatkala mufakat adat ngon hukom, nanggroe seunang hana goga” [Adat menurut adat, hukum syariat menurut hukum syariat; tatkala bermufakat adat dan hukum itu, negeri senang tak ada huru-hara].

Jika kita menelurusi sejarah Aceh akan terlihat bahwa dalam pandangan dunia orang Aceh, hukum syariat dan hukum adat tidak dapat dipisahkan, ibarat tak terpisahkan antara Tuhan dan sifat-sifatnya. Adat dan agama telah menjadi dua unsur yang dominan dan mengendalikan gerak hidup rakyat Aceh di masa lalu. Dua (2) unsur itu didukung oleh dua (2) pilar juga yang penting di masyarakat, yaitu sultan (serta para ulebalang) dan para ulama.

Menurut Dr. Taufik Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Teuku Ibrahim Alfian, ada 4 tonggak sejarah penting yang membentuk kesadaran masyarakat Aceh dan kecenderungan kulturalnya, yaitu: (1) proses Islamisasi; (2) jaman keemasan Sultan Iskandar Muda; (3) Perang melawan Belanda, 1873-1912; dan (4) Revolusi National, 1945-1949.

Mengenai proses Islamisasi, peninggalan-peninggalan kerajaan Islam pertama di Indonesia ditemukan di Aceh. Salah satunya adalah makam Sultan Malikulsaleh, pendiri Kerajaan Samudera Pasai yang meninggal tahun 1297. Dikatakan bahwa peran Kerajaan ini dalam penyebaran Islam di Malaka dan Nusantara teramat besar. Bahkan Sunan Ampel dan Sunan Giri yang sangat dihormati di Jawa berasal usul dari Kerajaan Pasai ini.

Masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dianggap sebagai contoh terbaik dimana ajaran-ajaran Islam sungguh melandasi praktek-praktek kehidupan. Adat (praktek kehidupan) sungguh merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam. Ungkapan, “Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Teungku Syiah Kuala” memperlihatkan 2 pilar penting dalam kehidupan rakyat Aceh, yaitu Sultan Iskandar Muda dan Teungku Syiah Kuala (ulama) sebagai kepaduan antara adat (praktek hidup) dan hukum (syariat).

Masa perlawanan terhadap Belanda sekali lagi memperlihatkan bagaimana Islam sungguh merasuk dalam tindakan rakyat Aceh secara keseluruhan. Perang yang berlangsung hampir 40 tahun ini merupakan perang paling lama dan paling merugikan Belanda dalam upayanya menaklukkan daerah jajahan. Hal ini terjadi karena semangat para pejuang dan rakyat Aceh dibangkitkan dan digelorakan oleh nilai-nilai Islam yang sudah menjadi “living values”. Pada periode inilah terkenal Hikayat Perang Sabil yang membuat orang Aceh rela mati syahid (nilai Islam) untuk mengusir Belanda.

Periode Revolusi Nasional (1945-1949) menegaskan bahwa rakyat Aceh berhasil mengatasi sentimen “ke-Aceh-an” dan menjadi pendukung paling hebat berdirinya Republik Indonesia. Teungku Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tahun 1949 menyatakan, “Kesetiaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah RI bukan dibuat-buat serta diada-adakan, tetapi kesetiaan yang tulus dan iklas yang keluar dari lubuk hati nurani dengan perhitungan dan perkiraan yang pasti”.

Dari 4 tonggak sejarah penting yang membentuk kesadaran dan kecenderungan kultural rakyat Aceh terlihat sangat jelas bahwa Islam merupakan kekuatan spiritual rakyat Aceh. Kekuatan itu telah mewarnai perkembangan, kemajuan dan tindakan-tindakan yang diambil oleh rakyat Aceh. Dengan kata lain bisa disimpulkan, Islam sudah sungguh bagian dari Aceh, tidak ada apapun yang bisa memisahkannya, karena Islam dihayati dan merasuk ke seluruh aspek kehidupan. Secara ekstrem orang kadang mengatakan, “Islam adalah Aceh, dan Aceh adalah Islam, bagai dua zat yang tak terpisahkan”. Islam menjadi tidak butuh diformalkan (dalam bentuk aturan baku oleh negara) karena dia sudah menjadi “nafas hidup”.

Sesat Pikir: Memberi yang sudah dimiliki

Dalam sejarah status keistimewaan Aceh, barulah pada Undang-Undang (UU) No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh muncul pendirian menjadikan pelaksanaan Syariat Islam sebagai urusan/kewenangan pemerintah/negara. Pada UU ini jugalah pertama kali muncul istilah Syariat Islam.

Sebagaimana dijadikan salah satu dasar hukum (bagian Mengingat) untuk UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sudah ada juga UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh. UU ini merupakan koreksi terhadap ketentuan sebelumnya yang menempatkan Aceh dalam Provinsi Sumatera Utara.

Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 yang ditandatangani oleh Presiden Habibie (menjadi presiden sesudah Soeharto diturunkan) juga memakai UU No. 24 Tahun 1956 ini sebagai dasar hukum. Akan tetapi, sangat menarik untuk diperhatikan bahwa UU No. 24 Tahun 1956 tidak sekalipun memakai istilah syariat Islam. Lalu, darimana datangnya gagasan formalisasi pelaksanaan syariat Islam sebagai ciri khas otonomi Aceh dalam UU No. 44 Tahun 1999?

Rodd McGibbon cukup jeli menunjuk sesat pikir pemerintah pusat dalam upaya menyelesaikan konflik Aceh yang berlangsung sejak Orde Baru. Tulisannya “Local Leadership and Aceh Conflict” dalam buku Verandah of Violence memuat kritik yang menuduh hukum (syariat) Islam untuk Aceh sebagai produk deal politik antara pemerintah pusat (Jakarta) dengan elit-elit lokal Aceh. Di sini Islam telah dijadikan “komoditas politik”.

Menurut McGibbon, pemerintah pusat (Jakarta) selalu menganggap bahwa inti konflik panjang di Aceh sejak berdirinya GAM (Gerakan Aceh Merdeka) adalah konflik berdimensi agama dengan tuntutan utama penerapan syariat Islam. Bahkan ada politisi di DPR Pusat yang menganggap bahwa konflik Aceh masih ada kaitan dengan penolakan Pemerintah Indonesia atas tuntutan DI (Darul Islam) Aceh tahun 1959.

Ketika penyelesaian konflik Aceh dan melumpuhkan GAM melalui kekerasan tidak berhasil, pandangan dominan di Jakarta saat itu adalah bagaimana melemahkan pengaruh GAM di masyarakat dengan memulihkan kedudukan penting yang dimiliki para ulama yang sejak lama memang merupakan ciri khas masyarakat Aceh. Inilah alasan yang mendasari keputusan mengijinkan Aceh “melaksanakan syariat Islam dalam seluruh Aspek kehidupan (UU No. 44/1999).

Undang-Undang ini juga secara eksplisit menegaskan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Teuku Kamaruzzaman, salah satu perunding GAM, saat diwawancara oleh McGibbon mengatakan, “Ulama memang punya peran dalam bidang keagamaan, tetapi dalam konsep orang Aceh, ulama tidak memegang peran politis”. Betapa ini sejalan dengan kisah kejayaan Aceh dimana para ulama memang salah satu pilar masyarakat Aceh, yaitu di bidang nilai-nilai agama.

Perbandingan ruang lingkup kewenangan otonom Provinsi Aceh dalam tiga Undang-Undang:

UU No. 24/1956 UU No. 44/1999 UU No.11/2006
Kesehatan, pekerjaan umum, pertanian, kehewanan, perikanan darat, pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, perindustrian kecil dan sosial [dalam Penjelasan Pasal 4 ayat 1] Kehidupan beragama [pelaksanaan syariat Islam], adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah [Pasal 3 ayat 2] Tata ruang, pembangunan, ketertiban umum, sarana umum, kesehatan, pendidikan, penanggulangan masalah sosial, ketenagakerjaan, koperasi, usaha kecil-menengah, lingkungan hidup, pertanahan, penanaman modal, administrasi kependudukan, pelaksanaan syariat Islam, adat, peran ulama dalam penetapan kebijakan [Pasal 16]

Betapa sesatnya cara pandang “yang dituntut Aceh adalah syariat Islam” terlihat dari surat yang dikirim oleh Husaini Hasan, salah seorang pemimpin GAM di Eropa, kepada para duta besar negara-negara Islam di Indonesia tahun 2000. Beliau mengatakan, “Hukum syariat bukan tujuan perjuangan Aceh. Syariat juga bukan penyebab terjadinya konflik antara Aceh dan Jakarta. Indonesia berusaha memunculkan isu ini untuk alasan politik – tepatnya sebuah cara baru mengalihkan perhatian Anda dan dunia dari isu yang sebenarnya, yaitu hak rakyat Aceh menentukan nasibnya sendiri”. GAM dan SIRA (Sentral Informasi Rakyat Aceh) menilai sikap Jakarta yang menekankan syariat sebagai upaya membangun stereotip orang Aceh sebagai “extremis dan fundamentalis” Islam.

Motif berdirinya GAM sangat berbeda dengan motif pendirian Negara Islam Indonesia oleh DI (Darul Islam). GAM bersama organisasi-organisasi mahasiswa yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh memang memakai simbol-simbol Islam, bahkan mengumandangkan kejayaan Kerajaan Iskandar Muda dan Hikayat Perang Sabil dalam upaya mereka mendapatkan dukungan rakyat Aceh. Akan tetapi, “Mereka tidak mengejar tujuan yang bersifat keagamaan dalam bentuk negara Islam,” kata McGibbon.
Maka, barangkali tidak tepat juga jika dikatakan bahwa proyek pelaksanaan syariat Islam untuk menyelesaikan konflik Aceh sekedar kesesatan berpikir. Layak diduga adanya motif-motif keuntungan ekonomi dan politik bagi elit-elit Jakarta yang berkongsi dengan elit lokal di Aceh. Ini juga diperlihatkan oleh McGibbon dengan fakta bahwa elit-elit pemerintah dan DPRD Aceh saat itu sangat berkolusi dengan elit Jakarta di jaman pemerintahan yang sangat korup.

Selama tahun-tahun sebelum keluarnya UU No. 44/1999 itu, sudah teramat kuat suara dan penegasan bahwa inti dari konflik Aceh adalah ketidakseimbangan pusat-daerah (kerakusan pusat menyedot kekayaan Aceh) dan pelanggaran hak asasi manusia yang parah.
Oleh karena itu, ketika yang diberikan oleh pemerintah pusat adalah formalisasi syariat Islam, orang seperti Harry Kawilarang dalam bukunya “Aceh, dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki” pantas bertanya, “Bagaimana syariat bisa mengadili kejahatan kemanusiaan dan kekejaman di Aceh? Bagaimana syariat yang dipahami secara ortodoks menjawab persoalan-persoalan modernitas seperti demokrasi, kebebasan sipil, keberagaman dan sebagainya?”
John R. Bowen dalam bukunya Religions in Practice menyebut GAM sebagai salah satu contoh gerakan radikal yang kendatipun dilakukan oleh orang-orang Islam, tetapi tuntutannya tidak punya kaitan apapun dengan keislaman. Sudah jelas sejak awal bahwa konflik Aceh dan tuntutun GAM lebih berdimensi politik dan ekonomi.
Jika MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki 2005 kita pandang sebagai tonggak penting sejarah Aceh karena membuka jalan perdamaian, perlu kita lihat apakah syariat Islam menjadi salah satu tuntutan GAM. Ternyata tidak sekalipun kata “syariat Islam” muncul dalam MoU Helsinki. Topik penting (dominan) dalam MoU ini adalah partisipasi politik dan ekonomi.

MoU Helsinki ini menetapkan syarat perlunya UU baru tentang Pemerintahan Aceh. Bahkan MoU menetapkan 4 prinsip yang mesti menjadi dasar dari UU itu. Prinsip itu berkutat seputar kewenangan luas yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh dimana segala hal yang diputuskan oleh Pemerintah Pusat mesti dikonsultasikan dan/atau disetujui oleh Pemerintah atau Legislatif Aceh. Namun prinsip pertama menarik untuk ditekankan karena menegaskan bahwa Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik kecuali bidang-bidang yang menjadi kewenangan Pemerintah RI seperti hubungan luar negeri, pertahanan, fiskal dan moneter, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama. Teramat jelas bahwa hal kebebasan beragama tidak dituntut oleh GAM.

Jika UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang dijadikan dasar hukum Qanun Hukum Jinayah adalah penerjemahan prinsip-prinsip MoU Helsinki, maka telah terjadi inkonsistensi karena UU No. 11/2006 menetapkan pelaksaaan syariat Islam (kebebasan beragama) sebagai kewenangan Pemerintah Aceh. Hal ini tidak pernah dituntut oleh rakyat Aceh. Ini juga tidak ada dalam MoU Helsinki, tonggak perdamaian Aceh.

Kesimpulan sederhana yang bisa ditarik, formalisasi syariat Islam di Aceh dengan Qanun Jinayah sebagai salah satu contohnya adalah bukti inkonsistensi Pemerintah Pusat dalam penyelesaian konflik Aceh. Bagai mengirim api dalam sekam, inkonsistensi seperti itu berpeluang menyulut konflik baru sesama orang Aceh. Titik-titik apinya sudah jelas.

Dengarlah, misalnya, ancaman (peringatan) dari Muadz Munawar, koordinator aksi Forum Komunikasi untuk Syariah (FOKUS) waktu mendatangi gedung DPRA untuk mendukung pengesahan Qanun Jinayah (Senin, 14/9/09), “Masih ada agen-agen asing yang berusaha menggagalkan Qanun ini. Siapapun yang berusaha menolak Qanun Jinayah adalah musuh Islam”. Tinggal selangkah lagi untuk mengatakan, para musuh Islam adalah kafir dan mati melawan para kafir adalah shahid.

Jangan ada lagi dusta di antara kita. Sejarah kejayaan Aceh dan MoU Helsinki yang diagungkan sebagai tonggak perdamaian Aceh tidak pernah menginginkan formalisasi syariat Islam sebagai aturan negara. Sejarah Aceh sejak islamisasi awal di kerajaan Samudera Pasai hingga MoU Helsinki tetap konsisten dengan pandangan bahwa Islam tidak akan pernah bisa dipisahkan dari Aceh dan nilai-nilai Islam (syariat) telah dan akan selalu menjadi cara hidup dan nilai yang dihayati (a way of life, a living value). Janganlah memberi kepada Aceh apa yang sudah dimilikinya sejak dahulu kala: syariat Islam. Tetapi berilah Aceh apa yang masih mereka butuhkan dan minta: keadilan dan kesejahteraan. []

Marsen Ng | Fasilitator, bekerja di Aceh.

____________
Bahan Bacaan
:

Amal, Taufik Adnan & Panggabean, Samsu Rizal. Politik Syariat Islam. Dari Indonesia hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004.

Alfian, Teuku Ibrahim. Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1999.

Bowen, John R. Religions in Practice. An Approach to the Anthropology of Religion. United States: Pearson Education Inc, 2008.

Kawilarang, Harry. Aceh, dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008.

Reid, Anthony. Verandah of Violence. The Background to the Aceh Problem. Singapore: NUS Publishing, 2006

Sjamsuddin, Nazaruddin. Revolusi di Serambi Mekah. Perjuangan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949. Jakarta: UI-Press, 1998.

No comments yet

Tinggalkan komentar