Lanjut ke konten

Peta Permasalahan Dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran di Daerah

Juli 17, 2008

(Refleksi singkat untuk kasus perencanaan dan penganggaran di Kalimantan Timur)

Oleh Edy Marbyanto

Pengantar. Pengelolaan keuangan daerah sering menghadapi masalah ketika perencanaan dan penganggaran tidak dilakukan dan berjalan dengan baik. Gagal dalam merencanakan sesungguhnya merencanakan sebuah kegagalan. Tulisan berikut ini menguraikan 13 permasalaha dalam perencanaan dan penganggaran di daerah berdasarkan pemahaman dan pengalaman penulis di Kalimantan Timur. Sebelumnya ditampilkan dalam milis Partisipasi dan pemuatan dalam blog ini atas ijin dari penulis. Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bung Edy Marbyanto.

  1. Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk “menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
  2. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih menjadi retorika. Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim.
  3. Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
  4. Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat SKPD masih sulit didapatkan.
  5. Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match). Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak visioner.
  6. Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang mengarah pada “how to achieve” suatu target.
  7. Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming, disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan” seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing. Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi “Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
  8. Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
  9. SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar misal Dinas Pendidikan dan Dinas PU seringkali tidak mempunyai tenaga perencana yang memadai. Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
  10. APBD kabupaten/Kota perlu evaluasi oleh Pemprop. Disisi lain Pemprop mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Selain itu belum ada instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah (kabupaten/kota).
  11. Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya Fasilitator Musrenbang yang berkualitas. Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan. Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
  12. Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan (misal Permendagri 66 tahun 2007) cukup rumit (complicated) dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
  13. Dalam praktek penerapan P3MD, pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di Kaltim masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi “Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan).
7 Komentar leave one →
  1. fx pranata (ldk 2008) permalink
    Juli 23, 2008 8:41 am

    dari ke 13 masalah penganggaran, paling berat adalah karena seluruh proses perencanaan tidak didukung political will terutama dprd, kalau kita lihat ternyata belum ada regulasi yang mengatur samapai dimana batasan keterlibatan, seringkali dalam perencanaan dan penganggaran keterlibatan dprd bukan pada porsi kebijakan penganggaran tapi telah masuk dalam ranah manajemen, ini membuat seluruh proses yang telah disususn sebelumnya seringkalu mentok dan dokumen perencanaan hanya sebatas dokumen tidak bisa dilaksanakan / diaplikasikan

  2. Juli 26, 2008 4:10 pm

    Saya sependapat dengan fx pranata (ldk 2008). Mungkin karena tingkat pendidikan anggota DPRD dan kecerdasan mereka kurang memadai…

  3. dyah_metro permalink
    Agustus 4, 2008 2:53 pm

    saya pusing pak.. dr 13 permasalahan yg bapak kemukakan, semua ada di daerah saya.. ditambah lagi kebijakan diskresi potong kompas pejabat daerah yg tidak bisa kami lawan karena loyalitas.. saya tunggu bahasan bapak selanjutnya, solusi untuk keluar dari masalah tersebut, sehingga akhirnya alur berfikir logis (logical framework) sebuah perencanaan seperti yg bapak kemukakan bisa terbentuk di daerah kami..
    thanks.. ;p

  4. Agustus 5, 2008 7:30 am

    Ke 13 permasalahan yang dikemukakan Bung Edy memang merupakan kompilasi dari pengalaman di lapangan. Saya sependapat dengan bu Dyah bahwa hampir semua persoalan tersebut terjadi di daerah. Persoalannya adalah apakah Pemda mau membenahi permasalahan tersebut?

    Konsep transparansi dan akuntabilitas semestinya diaplikasikan secara konkrit. Salah satu langkah yang penting dilakukan adalah dengan merancang aturan main yang baik, misalnya tentang keterlibatan elemen-elemen masyarakat seperti LSM, tokoh masyarakat dan agama, pemuda, mahasiswa, akademisi, dll. mulai dari tahap pengidentifikasian permasalahan di masyarakat, Musrenbang, dan penyusunan kebijakan dan prioritas APBD.

    Sebelum rancangan APBD disampaikan ke DPRD, semestinya ada sosialisasi atau ekspos atas RAPBD tsb sehingga masyarakat tahu apakah usulan di Musrenbang sudah diakomodasi atau belum, sekaligus untuk menilai apakah DPRD memotong usulan masyarakat. Sering terjadi di RKPD program/kegiatan yang diusulkan masyarakat sudah masuk, tapi di PPAS hilang tanoa bekas.

  5. Agustus 31, 2009 9:35 pm

    sip bozz.. thanks data yang aku butuhkan akhirnya ketemu.. makasih ya pak..

  6. September 10, 2009 11:53 am

    memang disengaja …mas….yen ..apik..mengko terus raono penggawehan……dan…yang penting pembangiane rata…..apalagi kebijakan yang menyangkut vullus

  7. Teguh Murdjijanto permalink
    Juni 11, 2013 10:42 am

    Pak Syukriy, mohon komentar dan pencerahan tentang kondisi fiscal sustainability APBD, mengingat mayoritas pendapatan berasal dari transfer. saya merasa sebagian besar pemda tidak melihat ini sebagai masalah, dan bahkan di beberapa pos anggaran terjadi pemborosan. Pemerintah sendiri “memberi izin” untuk defisit dengan menerbitkan defisit kumulatif. Apakah kondisi ini dipengaruhi oleh sistem anggaran berbasis kinerja, dimana kinerja yang menjadi drive utama daripada ketersediaan resources? Bila tidak, dimanakah prioritisasi anggaran dilakukan? bila dilakukan prioritisasi, atas dasar apa prioritas disusun? Terimakasih

Tinggalkan komentar