Lanjut ke konten

Zakat dan Kemiskinan

September 25, 2009

Jaka Sriyana

Masalah kemiskinan merupakan persoalan yang seolah tidak terselesaikan di negara kita, bahkan dari tahun ke tahun berbagai masalah yang berkaitan dengan rendahnya tarif hidup masyarakat ini terus meningkat. Kondisi ini semakin diperburuk dengan terus meningkatnya harga-harga bahan pokok sementara pendapatan masyarakat tidak mengalami peningkatan berarti. Sekalipun release dari Departemen Keuangan tahun 2009 menunjukkan adanya penurunan angka kemiskinan. Pada tahun 2007 sebesar 17,75% dan pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 15,4%, namun fenomena ketidakberdayaan masyarakat seperti kasus gizi buruk, putus sekolah, banyaknya pengemis, membengkaknya pengangguran terus terjadi di daerah-daerah.

Pemberantasan kemiskinan harus menjadi agenda bersama antar-pemerintah dan masyarakat. Dan masyarakat, khususnya umat Islam dapat berperan aktif dalam pemberantasan kemiskinan. Salah satu cara untuk memerangi kemiskinan adalah dengan memberdayakan zakat. Sebagai salah satu kewajiban umat Islam, zakat sangat potensial sebagai sumber pemberdayaan masyarakat. Zakat memiliki kesamaan tujuan dengan MDGs (Millennium Development Goals) dan GCAP (Global Call Against Poverty). Hal itu merupakan bukti universalitas nilai-nilai Islam. Perlawanan zakat terhadap realisasi mekanisme pemungutan pajak yang tidak menjunjung keadilan dan tidak memihak pada penduduk miskin secara tidak langsung diterjemahkan dalam gerakan GCAP.

Secara nominal, potensi zakat di Indonesia sangat besar mengingat lebih dari 85% penduduk kita adalah muslim. Menurut penelitian yang dilakukan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy) bahwa potensi zakat di Indonesia berkisar Rp 19 – 20 triliun per-tahun, sebuah modal yang cukup bagi pembangunan masyarakat dan jumlah itu akan semakin besar seiring meningkatnya kesadaran umat Islam tentang zakat. Apa lagi pemerintah juga sudah menetapkan  slogan  ‘Menuju Indonesia Sadar Zakat’ pada tahun 2008.

Pemberdayaan potensi zakat sangat tergantung berbagai hal, selain potensi nominalnya, tentu keberadaan lembaga zakat yang mengelolanya. Secara yuridis formal keberadaan zakat sudah diatur dalam UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Lembaga pengelola zakat saat ini tidak hanya dimonopoli oleh BAZIS yang dikelola oleh negara tetapi juga dikelola secara swadaya oleh masyarakat.

Yang perlu menjadi perhatian bagi lembaga pengelola amil zakat adalah mengelola zakat untuk menanggulangi dan mengatasi kemiskinan umat Islam pada khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya. Pengelolaan ini penting agar zakat tidak hanya sekadar menjadi langkah penghimpunan dana namun sasaran penyalurannya juga harus lebih efektif. Untuk meningkatkan daya guna zakat dalam mengurangi kemiskinan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh lembaga amil zakat. Pertama, melakukan pengelolaan zakat secara profesional dan akuntabel sehingga akan meningkatkan kepercayaan para wajib zakat bahwa dana yang telah mereka salurkan akan disalurkan kepada yang berhak. Hal ini dalam jangka panjang akan semakin meningkatkan realisasi penerimaan zakat.

Kedua, untuk meningkatkan realisasi penerimaan zakat juga diperlukan stimulan terhadap para pembayar zakat berupa kompensasi pajak secara langsung. Penerapan zakat sebagai pengurang pajak selama ini hanya pada tataran zakat tersebut sebagai biaya pengurang penghasilan. Pengaruhnya tentu tidak besar bagi para pembayar pajak yang juga merupakan para pembayar zakat karena tidak dikreditkan langsung pada pajak terutang. Hal ini akan lebih efektif jika zakat tersebut dapat dikreditkan langsung ke pajak penghasilan.

Ketiga, sasaran diutamakan kepada para mustahik (orang yang berhak menerima zakat) untuk meningkatkan kemandirian secara ekonomi, misalnya untuk pendidikan, pelatihan dan kemampuan berwirausaha sehingga akan terjadi peningkatan kemampuan ekonomi dalam jangka panjang. Selain perlu adanya jaringan diantara penerima zakat. Jaringan ini sangat penting untuk proses pembinaan dan evaluasi keberhasilan para penerima zakat.

Keempat, mengoptimalkan peran pemerintah. Pemerintah telah melibatkan diri dalam pengelolaan zakat dengan membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) di berbagai tingkat kewilayahan dari kecamatan hingga nasional. Namun pemerintah belum memiliki instrumen dalam anggaran untuk memasukkan zakat dalam salah satu penerimaan pemerintah, baik pusat maupun daerah sehingga belum ada mekanisme politik dan hukum untuk penyalurannya secara nasional.

Pemberlakuan zakat penghasilan sebagai pengurang penghasilan kena pajak jelas akan berpengaruh langsung terhadap penerimaan pemerintah dari sektor pajak. Semakin banyak umat Islam yang membayar zakat akan mengakibatkan semakin banyaknya pengurang penghasilan kena pajak. Sehingga apabila penghasilan kena pajak menjadi kecil dengan sendirinya pajak penghasilan yang diterima negara juga mengecil. Padahal pada saat ini pemerintah justru sedang berupaya memaksimalkan penerimaannya dari sektor pajak. Ini merupakan dissinergi pajak dan zakat di Indonesia dalam jangka pendek sekadar dilihat dari sudut pandang penerimaan negara. Dan inilah agaknya, yang menyebabkan pemerintah gamang dan ragu-ragu dalam pengelolaan zakat. Karena khawatir target penerimaan dari sektor pajak, termasuk pajak penghasilan akan terganggu.

*Penulis adalah Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FE-UII.

No comments yet

Tinggalkan komentar